Bali Spirit Festival punya One Word stage di petang hingga malam hari, setiap hari Disebutkan dalam jadwal resmi Bali Spirit Festival sebagai berikut
During the weekend (Friday – Sunday) the One World One Stage Concert series, combines diverse global genres of West meets East, folk & electronica to traditional, modern dance and physical theatre, taking place at ARMA. Each evening, doors open from 6:30pm and shows and concerts start at 7:00pm. In addition to the nightly musical events, there are also FRINGE events happening across Ubud, such as film screenings and stand-up comedy, so keep your eyes peeled for more info!
PLEASE NOTE:The full list of BaliSpirit Festival nighttime performers is continuously being updated – keep checking this page!
<http://www.balispiritfestival.com/>
Setiap pukul 7 malam peserta Festival yang tadi petang sudah pulang, beristirahat di tempat penginapan masing-masing itu datang lagi untuk berpartisipasi secara aktif dalam Panggung Satu Dunia (One World Stage).

Dengan penekanan satu manusia, satu asal-usul, satu planet, satu nasib, maka semua manusia yang hadir, berbahasa apapun, berwarga-negarea apapun, ras apapun, semua datang, berbahasa satu “Bahasa Musik dan Lagu” di satu panggung. Salah satu artikel bahasa Indonesia ditulis berjudul “One World One Stage, Bali Spirit Festival 2017: Pahami Dinamika Rasa, Tak Perlu Tanya Identitas” sudah cukup menunjukkan apa artinya panggung malam ini
Seperti saya singgung sebelumnya, Panggung Satu Dunia ini sangat menarik, karena dia berisi segala-macam hal berbau “rohani”, walaupun bukan “agamawi”. Kata-kata seperti Syaloom, Allahu Akhbar, Shanti om Shanti, ada dalam sejumlah syair lagi dan chanting yang disampaikan, diselenggarakan bersama dari atas panggung.
batas-batas, larangan-larangan, kebiasaan-kebiasaan ekslusif menjadi inklusif, bebas, bersama-sama, dan sama-sama. Semua agama menjadi satu, semua suku-bangsa menjadi satu, semuanya, untuk semuanya, yaitu umat manusia. Pantas saja, namanya disebut “Panggung Satu Dunia”.
Entah judul acara ini bermaksud menciptakan satu panggung untuk dunia, atau mengkleim realitas dunia yang satu yang sudah kita miliki, saya masih belum mendapatkan penjelasan baik dari yang ada secara online maupun berdasarkan pidato-pidato yang saya dengar waktu para panitia dan pendiri Bali Spirit Festival menyampaikan laporannya di panggung ini.
Panggung dipimpin oleh berbagai pihak, orang-orang yang saya boleh sebut sebagai “orang-orang rohani”, sekali lagi mereka bukan “orang-orang agamawi”. Orang-orang rohani yang saya maksudkan di sini sudah melek roh, melek tentang roh-roh yang ada di dalam dirinya, di sekitarnya, di alamnya, di pulau dan di planet Bumi, bahkan di jagatraya. Mereka tahu nama-nama, mereka mengakui dan merendahkan diri kepada para roh dimaksud.
Sering sekali mereka sebut, “Kami mengakui dan mengucapkan terimakasih serta mengundang roh Pulau Bali, pulau indah ini, roh nenek-moyang kita semua, dari benua-benua Amerika, Afrika, Australia, Eropa, Asia.” Mereka “invoke” semua roh dan mereka bersyukur atas kehadiran mereka, termasuk Roh Kudus dari allah, malaiket surgawi, sang Budha dan roh dari para peserta yang datang bersama nenek-moyang mereka.
Saya memang tidak percaya apakah yang saya alami dan dengar dan saksikan ini realitas hidup atau mimpi. Tetapi pada hari kedua dan ketiga saya mulai benar-benar sadar bahwa ini realitas dan pengalaman hidup yang saya alami, dalam kondisi alam sadar, dalam kondisi bangun, dalam kondisi sehat.

Saya teringat benar, orang-orang Bule inilah justru datang kepada Bapak dan Ibu saya, kepada keluarga, suku dan bangsa saya di Tanah Papua, mereka datang suruh kami semua tidak boleh melakukan hal-hal seperti menyebut, memanggil, mengakui dan mengucapkan terimakasih kepada roh-roh lain-lain selain Roh Tuhan dari Surga. Kami disuruh bakar semua benda-benda budaya, nama-nama kita-pun sudah diganti habis.Nama saya sekrang disebut Jhon Yonathan Kwano, inikan nama Kristen. Tetapi kok, malah orang-orang ini justru bicara seperti barang-barang yang dulu kami sudah tinggalkan?
Saya terus bertanya, “Apakah ini benar? Apakah mereka pura-pura? Apakah mereka tahu apayang mereka maksudkan?”
Dari pengalaman selama One World Stage ini saya mau katakan, mereka memang belum mahir, mereka masih sama dengan anak kanak-kanan secara upacara atau ritual, tetapi mereka sudah dewasa dari sisi pengertian, pemahaman dan “respect” terhadap hal-hal rohaniah. Ini yang terpenting, yaitu mereka mengakui eksistensi ini secara utuh, tidak dalam kotak-kotak agama, suku, peradaban, tetapi secara utuh dan menyeluruh, secara inklusif dan bersama-sama.
[…] musik. Contohnya, ada sejumlah musik dan lagu dipertunjukkan di dalam worshop ataupun di panggung One World One Stage. Banyak dari mereka memanggil nama-nama suku, nama-nama moyang, nama-nama sungai, gua dan […]