Saya mau katakan ini perempatan jalan, karena ada jalan dari tradisional ke modern, dan ada juga jalan dari modern ke tradisional. Kedua jalan ini memiliki pertemuan, di mana kedua jalan bertemu dan setelah itu berbagai kembali, yang dari modern menuju ke arah tradisional, dan yang dari tradisional menuju ke arah modern.
Bali Spirit Festival menunjukkan kepada saya sebuah realitas menarik, walaupun di dalamnya saya punya rasa “khawatir” bercampur “antusias”. Menarik karena ternyata masyarakat modern pada tahun-tahun belakangan ini telah nyata-nyata mengakui dan merangkul masyarakat adat seabagai sebuah kebutuhan. Di sisi lain, masyarakat tradisional dengan segala idaman dan cita-citanya berupaya dengan keras dan sekuat tenaga, biaya yang begitu mahal mau me-modern-kan dirinya, kampungnya, wilayahnya, negaranya.
Dalam festival ini ditunjukkan bagaimana apresiasi masyarakat modern terhadap budaya tradisional ditampilakn dalam berbagai hal: yoga, dansa dan musik. Contohnya, ada sejumlah musik dan lagu dipertunjukkan di dalam worshop ataupun di panggung One World One Stage. Banyak dari mereka memanggil nama-nama suku, nama-nama moyang, nama-nama sungai, gua dan gunung-gunung dari berbagai tempat di dunia, dan mereka menghadirkan suasana tempat-tempat dimaksud ke dalam kegiatan di kota/ hotel/ gedung. Di sini terlihat benar, budaya tradisional bertemu dengan budaya modern.
Saya menyebut ini bukan modern bertemu dengan tradisional, tetapi sebuah budaya baru sedang diciptakan, yaitu budaya perempatan, budaya saling berjumpa satu sama lain, yang kemudian akan disusul dengan sebuah budaya baru. Walaupun begitu, saya tidak mau mendahului waktu dan proses, saya harus berhenti mengatakan bahwa ini adalah sebuah pertemuan antara budaya modern dan budaya tradisional di perempatan jalan. Kita tidak tahu pertemuan ini akan menghasilkan apa: Apakah tradisional dimodernkan, ataukah modern ditradisionalkan, atau menjadi tradisional modern, atau modern tradisional.