Itulah pertanyaan saya pertama-tama, sebenarnya pertanyaan bersifat “sok tahu”, karena tadinya saya pikir hanya kami masyarakat adat yang lebih tahu tentang “spirit”, sementara orang-orang “bule” sudah lupa, dan sudah bunag barang-barang “roh”, dan mereka gantikan dengan barang-barang “agama” sebagai penggantinya.
Memang pandangan saya selalu ekstrem, memandang semua hal berbau “rohani’ datang dari peradaban barat sebagai sesuatu yang patut dicurigai. Dulu orang barat datang membasmikan barang-barang yang tadinya kami anut sebagai “rohani’ dan mereka bilang itu semua bartang-barang “kafir” yang harus dibuang. Sekrang tahun 2017, mereka yang suruh buang barang-barang “roh” itu mengadakan sebuah “festival” atau pesa, yang terkait dengan “roh”??????
Tentu saja penuh pertanyaan,.
Teman saya, seorang penggemar Kopi Papua, yang selama 4 tahun terakhir selalu berkampanye, bahkan menjadi salesman dari kopi Papua, yang selalu katakan kepada teman-temannya,
“The Best Coffee of the World” itu mengajak saya katanya, “Jhon, you might end up finding that you can sell coffee, organic coffee, the best coffee in the world as I know, to these people, far better than the general customers. These people have a clue about the word spirit, they might be more interested to learn about your coffee, produced by traditional peoples, who are also spiritual people.
Secara tidak langsung, dia mengajak saya berjualan Kopi Papua, tetapi sebenarnya yang dia lakukan ialah menjual Bali Spirit Festival kepada saya.
Hsilnya dengan motivasi tinggi mencari peluang berjualan kopi, saya memberanikan diri masuk ke Bali Spirit Festival, dengan teman “bule” saya tadi.
Terus-terang, saya menjadi heran, pertama-tama karena topik “spirit” tadi. Tetapi menjadi lebih heran lagi sesampai ke tempat acara, menemukan dengan mata-kepala sendiri bahwa di tempat ini sama-sekali “tidak ada peserta lokal dari pulau Dewata”. Saya hanya temukan dua orang Ibu/ Cewek dari Jakarta.
Bukan saya sendir yang heran, pasti juga para anggota kepolisian dan security hotel yang menjaga festival ini juga heran, kokh aneh tapi nyata, “orang Papua bisa sampai masuk ke sini, sementara orang Bali satu-pun tidak ada di sini.”
Saya sadari kemudian, bahwa acara ini memang diselenggarakan untuk orang “bule”, bukan untuk orang-orang seperti saya dan orang-orang Bali. (Walaupun saya tiba pada kesimpulan, bahwa kita masyarakat non-bule sebenarnya perlu terlibat ke dalam kegiatan-kegiatan seperti ini.)
Hal ketiga yang membuat saya menjadi heran, atau bisa dibilang kaget ialah kegiatan yang berlangsung di dalma festival ini boleh dikatakan “diorganisir”, tetapi kelihatan sepertinya “tidak diorganisir”. Ratusan acara sedang berlangsung pada waktu yang sama, di tempat yang sama, walaupun di ruang (space/ room) yang berbeda-beda. Di mana-mana ada kegiatan: Ada panggung terbuka dengan banyak kelompok musik menampilkan lagu dan musik mereka, ada yoga dengan bermacam-macam nama yoga, “Yoga kambing, yoga perompak, yoga hutan, yoga ibu hamil, yoga anak, dan sebagainya”.
Hal keempat, gerakan-gerakan yoga di dalam festival ini sangat menarik. Secara kasar saya temukan ada orang berdiri dengan satu-tangan, ada yang berjalan-jalan dengan tangan, ada yang membentuk segitiga dengan tubuh, segi-empat dengan tubuh, sambil tubuh yang satu menyambung ke tubuh yang lain. Ada juga menari dengan cara menempel di badan satu sama-lain, jadi tidak menari terlepas seperti yang kita tahu pada umumnya.
Di hari pertama, saya dan teman bule saya tidak beli tiket penuh waktu, karena kami masih menaruh “curiga” dan penuh dengan pertanyaan “Para bule mau bikin apa dengan roh?”. Teman bule ini juga punya pertanyaan yang sama. Kami hanya ke sana dengan sikap tidak hormat kepada apa yang mereka lakukan.
Sekedar catatan bahwa teman saya ini sudah 25 tahun lebih menganut aliran agama dari India, dan dia melakukan semua kegiatan-kegiatan rohani secarea rutin. Dia sering mengajak saya untuk melakukan “chanting” dan “meditasi”. Hampir setiap hari saya lihat dia melakukan peribadatan menurut ajaran yang dia anut. Makanya siakp dia dan sikap saya terhadap kata “spirit” dalam festival di Bali sama saja.
Pada hari ke-5 dari Bali Spirit Festival ini, kami berdua mengambil kesimpulan bersama-sama, pertama bahwa kami minta maaf kepada “roh Tanah Bali, roh pelaksana acara dan roh yang telah hadir dalam acara ini” atas kesalah-pahaman, karena kami tidak “respek” terhadap peristiwa penting yang bakalan kami alami, yang pada titik tertentu telah merombak cara kami memandang dunia sekitar secara radikal.
Kami berdua berkeputusan, untuk festival berikutnya, terlibat secara aktif, bila perlu mengundang orang Papua terlibat menyumbangkan sesuatu dalam festival tahun 2018. Teman Bule saya juga katakan dia bersedia menyumbang kalau panitia perlu apa saja.