Saya berjumpla dengan “Bali Spirit Festival” pada tahun 2017, baru setahun lalu. Pertemuan saya dengan Bali Spirit Festival, pengalaman yang saya alami telah saya ceritakan dalam beberapa artikel di blog ini.Satu hal yang saya alami dari “Bali Spirit Festival” ialah “pembebasan”, saya merasa dibebaskan dari belenggu dan cengkereaman yang diciptakan oleh lingkungan dan oleh diri saya sendiri selama ini.Roh manusia yang terbelenggu dalam bingkai-bingkai buatan manusia secara sendirinya menjadi “terbebaskan”. Kurungan-kurungan itu antara lain seperti berikut:
- rasa takut, gugup, malu, bingung, semuanya menjadi tidak ada artinya, tidak ada gunanya, tidak punya tempat tinggal, bahkan sulit dicari.
- rasa lelah menjadi menghilang, semangat kebersamaan, energi bersama memberi kekuatan luarbiasa yang membebaskan
Yang hadir dalam festival ini adalah rasa persaudaraan umat manusia sebagai sesama, sesama umat manusia, sesama orang Papua, sesama suku Walak, sesama makhluk di muka Bumi.Ada kemungkinan karena festival ini juga berlangsung tepat pada hari Masyarakat Pribumi Sedunia. Roh manusia pribumi sedunia mulai dari Mbilem, Wilayah Eragayam, pegunungan Tengah Tanah Papua menyebar dan sekaligus terhisap ke dalam titik nol acara ini. Dunia seraya bernafas bersama-sama dengan festival ini. Kita yang hadir benar-benar merasa senafas dengan nafas Bumi dan semesta. Perasaan itu jelas melampaui batas kata-kata manusia dan batas bahasa manusia yang dapat dituturkan ataupun diekspresikan.
Yang hadir adalah kebersamaan bukan hanya di antara umat manusia tetapi juga makhluk lain, hewan, tumbuhan, dan makhluk roh, terutama para roh dari nenek-moyang dan roh dari orang Walak yang telah pergi ke alam baka mendahului kita. Saya kira inilah faktor utama, kami harus menyebut festival yang tadinya kita katakan sebagai “Festival Budaya Suku Walak”, tetapi dengan sendirinya berubah nama menjadi “Festival Rohani Suku Walak” (Walak Tribe Spirit Festival) atau Walak Spirit Festival.
Interaksi alam nyata dan alam roh sangat nampak. Kontrol energi roh mereka yang telah meninggal sangat nampak.
Mereka juga terlibat dalam mengatur cuaca dan keadaan yang berkembang di lapangan sehingga suasana menjadi sangat sulit dijelaskan dengan kata-kata. Saya akhirnya berkesimpulan “Inilah alam dan suasana yagn ada di alam baka sana, di alam non-fisik, alam rohani di sana”. Saya berdoa agar di saat saya berpindah alamat-pun, saya mau menyaksikan dan mengalami suasana ini di alam sana. Itu paling tidak doa saya, karena itulah kerinduan saya, dan saya harap itu menjadi kerinduan seorang insan manusia yang pernah terlahir ke dunia ini, tanpa batas suku, ras, agama, status sosial-budaya, atau atribut apapun yang melekat pada fisik-biologis ini.
Dalam suasana seperti inilah, maka benar seperti dikatakan Ev. Selion Karoba, Sekretaris Wilayah Bogo, Gereja Injili di Indonesia, bahwa festival ini merupakan fase penting dalam merintis proses saling mengampuni di antara masyarakat suku Walak sebagai sesama suku-bangsa yang pernah ada dan hadir di muka Bumi.
Pidato Kepala Suku Besar Suku Walak, Elly Togodly dalam acara ini menjadi spirit bagi seluruh masyarakat Suku Walak dan para tetangga yang hadir. Dalam pidatonya Tua Adat Elly Togodly menekankan persatuan dan kesatuan sebagai anak-anak adat dalam membangun tanah-leluhur.
Turut hadir dalam acara ini para tokoh intelektual suku Walak, para pejabat provinsi Papua, yang dalam acara ini turut mengenakan “Tadli” dan “Yonggal”.
Kesimpulan yang pasti, budaya adalah nadi kehidupan. Budaya adalah “roh” sebuah manusia. Maksud kami di sini bukan budaya yang direkayasa untuk ekonomi, politik, kekuasaan, Pilkada, HUT ini dan HUT itu, tetapi budaya dalam artian ekspresi identitas, ekspresi hargadiri dan ekspresi rohani dari sebuah suku dan dari seorang manusia. [bersambung]
[…] 2018 saya mengikuti para orang tua mengunjungi Baliem Cultural Festival, setelah itu berlanjut ke Walak Spirit Festival pada tanggal 10 Agustus 2018. Pengalaman menyaksikan pertunjukkan antara di Wamena dan yang di Eragayam berbeda, seperti […]