Dari Mana Datangnya Cinta, Dari Mata Turun ke Hati
Jangan nona memilih suku, sama-sama berdarah merah!
Ini kisah sebuah proses psikologis yang menarik
Lirik lagu ini biasa dinyanyikan orang Papua sebagai lagu rakyat, dalam tarian lemon nipis maupun yosim pancar.
Saya masih kaitkan kisah saya dari Bali Spirit Festival berjudul “Melotot ke mata” dengan judul lagu ini, yaitu “dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati”. Lagu ini menceritakan sebuah proses “jatuh cinta”, yang dimulai dari mata. Jadi kisah “melotot” yang saya ceritakan sebelumnya merupakan cerita melihat “ke dalam” jiwa seseorang, sedangkan lirik lagu ini menceritakan kisah jendela jiwa membawa pesan masuk ke dalam jiwa, arah yang berlawanan. Yang menyanyikan lagu ini, yaitu si lawan jenis, merupakan saksi-mata yang melihat cinta itu dipetik dan dimasukkan ke dalam hati/ jiwa lewat pintu jiwa.
Cinta dimulai dengan melihat, tetapi untuk lirik lagu ini melihat di di kulit, di topeng, di pakaian dan perawakan luar. Yang terpenting dalam lirik lagu ini bukan melihatnya, tetapi perjalanan pesan yang dipetik dengan jendela jiwa (mata) ke dalam tubuh/ jiwa seseorang.
Baris berikutnya dari lagu pendek ini memberitahukan: kalau Anda melihat saya tua, orang asing, berkulit atau berambut tidak sama dengan Anda, dan banyak macam atribut dan afiliasi yang tidak sama antarasi pelihat dengan yang dilihat, dia katakan, jangan memilih berdasarkan semua yang ada di luar, karena semua yang di luar itu hanyalah hiasan, hanyalah bagian dari sandiwara kehidupan. Karena kami sama-sama memiliki darah berwarna sama, yaitu darah merah.
Sama dengan yang saya katakan dalam artikel sebelumnya menyangkut mata sebagai jendela jiwa, dengan meninggalkan atribut suku, bangsa, agama, jenis kelamin, jenis kulit, jenis rambut, afiliasi dan status apapun, saat kita melihat ke dalam mata, kita melihat “seorang insan”, “satu jiwa manusia”, sebagaimana adanya, polos, tanpa embel-embel. Itulah sebabnya dalam lagu ini, si penyanyi mengatakan, semua embel-embel diabaikan saja, karena kita sama-sama berdarah merah. Dan saya mau tambahkan di sini, berdasarkan pengalaman melotot ke mata di Bali Spirit Festival, bahwa kita sama-sama merupakan tabung, wadah, tubuh yang berisikan “jiwa”, yaitu sebuah insan, sebuah nyawa, yang dalam bahasa agama disebut “ruah”, “roh”.