
Give a hug, artinya memeluk dengan melapangkan dada selebar-lebarnya, membuka hati dan memeluk dengan pasrah. Kira-kira itu yang saya bisa katakan dengan ungkapan, “give a hug” dalam Bali Spirit Festival.
Saya sudah kisahkan satu hal yeng cukup fenomenal untuk pergumulan jiwa saya, yaitu menatap ke mata dalam waktu lama, yang saya sebut melotot ke dalam biji mata pasangan. Ini sudah cukup mengejutkan buat saya. Tetapi hal mengejutkan tidak sampai di situ. Setelah kita bertukar informasi, mengemukakan apa yang kita rasakan pada saat itu, di tempat itu, pada moment itu, kita akhiri dengan sebuah “giving a hug”, memberikan sebuah pelukan, yaitu sebuah tindakan membuka dada, membuka diri, dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada keterbukaan yang tersedia dari pihak pasangan kita.
Saya yakin pasti ini hal yang dilarang, tidak mungkin saya lakukan dan saya tidak akan mencoba melakukannya di Tanah Papua pada saat ini. Saya perkirakan pada generasi cucu saya baru halangan ini akan terhapus, dan akan melakukan hal yang sama dengan yang telah saya lakukan di Bali Spirit Festival.
Apa yang sesungguhya terjadi pada saat “giving a hug”? barangkali menjadi pertanyaan bagi yang belum sempat hadir kali ini. Yang terjadi sesungguhnya adalah “pertumpahan hati”, atau “memeluk dengan pasrah”. Yang kita katakan dalam giving a hug ialah
“saya percaya padamu, saya percaya kau memahami dan menerima saya, saya percaya kau bersedia Anda berbagi dengan saya, dan saya memberikan apa yang saya punyai untukmu, dan saya terima apa yang kau mau berikan kepada saya, tanpa meminta balasan, tanpa mengharapkan imbalan, tanpa praduga yang tidak-tidak, tanpa mengharapkan apapun dari siapapun. Ini saya, seorang insan manusia, yang hadir di hadapanmu, polos, tulus, apa adanya. Terimalah saya, saya terima Anda sebgai sesama, sebagai lelaki, sebagai perempuan, sebagai orang putih, hitam, merah, sebagai apa saja.”
“Giving a hug” bisa berlangsung selama 1 detik, tetapi kebanyakan berlangsung selama 3 menit, bahkan ada yang berlangsung sampai 10 menit.
Yang terjadi setelah “giving a hug” ialah kebanyakan mengucapkan “terimakasih” (thank you very much), tidak ada kata-kata tambahan. Sering juga kita tanyakan “where are you from?” (asal dari mana?”, kemudian berlanjut dengan tanya-jawab atau cerita lain.
Saya perlu terus-terang, bahwa setelah kegiatan “melotot ke dalam mata” atau “giving a hug”, maka manusia kembaoi sebagai satu identitas dengan kelengkapan sosial, budaya, politik, tua-muda, hitam-putih, lelaki-perempuan, gemuk-kurus, maka percakapan yang terjadi selanjutnya bukan lagi seputar “saya dan kau seorang insan manusia” tetapi lebih luas, lebih jauh lebih dalam dari itu.
Yang saya alami selama “giving a hug” ialah sebuah proses pelepasan, penghemusan nafas yang begitu panjang, lebih panjang daripada yang biasa, disertai pelepasan emosi: sedih, jatuh cinta, cemas, gugup, … dan sebagainya. Emosi-emosi ini secara bebas dilepaskan keluar tanpa rintangan apa-apa.
Setelah “giving a hug”, badan begitu ringan. Tetapi ada yang teruskan menangisnya sampai lama. Dan memang pengatur acara mendorong kita supaya kalau ada yang merasa mau menangis, maka harus menangis, tidak boleh ditahan.
Yang saya temukan dari apa yang dikatakan hampir 99% dari orang yang saya ketemu ialah, kalimat seperti ini
Saya tersesat, saya perlu teman, teman main, teman hidup, pasangan hidup, orang tua, adik-kakak, keluarga.Dan kebanyakan dari mereka menangis di ahir dari melotot ke mata ataupun memberikan pelukan pasrah.
Saya tidak menerjemahkan kata “giving a hug” sebagai pelukan mesra, tetapi adalah sebuah pelukan pasrah.
Di tengah Masyarakat Koteka perbuatan memeluk sudah biasa dalam berjabatan tangan. Saya katakan “giving a hugh” dalam salam orang gunung Papua ini sebagai “memberi salam dan menerima salam”, sedangkan “giving a hugh” yang saya maksudkan yang terjadi di Bali Spirit Festival ialah pelukan pasrah.