“Dari SD sampai di Perguruan Tinggi, saya diminta hafal Pancasila, saya hafal. Saya diminta hafal Sumpah Pemuda saya hafal. Diminta hafal GBHN saya hafal. Saya diminta hafal lagu Indonesia raya, saya hafal. Diminta untuk menghormati bendera merah putih, saya hormati. Diminta hafal nama para pahlawan Indonesia saya hafal. Diminta ikut upacara Hari Kemerdekaan Indonesia saya ikut.
Dan sekarang, saya diminta tunduk dan setia pada NKRI, tapi saya minta maaf. Karena saya tahu semuanya tidak pernah diwariskan TUHAN kepada leluhur dan nenek moyang saya. Karena tidak pernah diwariskan sebagai nilai-nilai luhur oleh leluhur dan nenek moyang saya.ooc
Ini semua hampa dan kosong. Ini semua merusak warisan nilai-nilai luhur leluhur dan nenek moyang bangsa West Papua. Saya dipaksa terima budaya orang Melayu, sejarah orang Melayu dan pahlawan orang Melayu.
Hari ini saya sadar. Hari ini saya tahu. Hari ini saya mengerti. Hari ini saya rasa dipermainkan dan dihancurkan seluruh warisan nilai-nilai luhur dan dignity.
Saya tanya orang tua, apakah ada nama Hassanuddin yang pernah ada di Tiom? Apakah ada nama Pattimura dan Diponegoro yang pernah tinggal bersama dalam honai di Gilome/Omapaga? Apakah ada nona Kartini yang pernah di kampung Irinmuli?
Orang tua saya menjawab. Anak, ko sebut nama hantu darimana itu? Kami tidak tahu nama-nama hantu itu di kampung kami.
Generasi penerus rakyat dan bangsa West Papua, renungkanlah dan bongkarlah bangunan yang salah selama ini. Selamat menikmati. (Dr. Socratez Sofyan Yoman)
Ita Wakhu Purom, 30 Agustus 2017.Sumber Facebook