tirto.id – Fajar Ayuningsih, seorang penata makanan, dalam suatu masa pernah menghabiskan waktu hampir 24 jam menata satu menu makanan untuk keperluan pembuatan materi iklan. Fajar adalah apa yang disebut sebagai food stylist. Ia melakukan pekerjaan tersebut sejak tahun 1995. Saat itu, industri makanan di Indonesia mulai butuh sosok yang bisa membuat tampilan foto menu makanan tampak menarik.
Fajar masih bekerja sebagai redaktur boga di sebuah majalah gaya hidup wanita pada masa itu. Menurutnya, kala itu keterampilan menata makanan lebih banyak dibutuhkan untuk rubrik masakan di majalah. Situasi itu agak berbeda dengan Amerika Serikat yang sudah meresmikan stasiun televisi Food Network. Acara memasak seperti Iron Chef dan Martha & Snoop Potluck Dinner Party mulai muncul. Profesi pengusaha restoran, koki, juga sommelier —ahli wine— menjadi selebriti baru.
Saat itu, referensi utama Fajar hanya majalah kuliner terbitan luar negeri semisal Donna Hay. Kliennya ialah perusahaan bidang fast moving consumer goods seperti Bimoli, Masako, dan Blue Band. Tugas Fajar adalah menata makanan untuk keperluan foto pada kemasan, juga untuk iklan di majalah, atau buku masak edisi khusus, iklan televisi, maupun buklet.
Creative Review mengungkapkan bahwa setiap daerah punya gaya penataan makanan tersendiri. Pada tahun 1990-an, Australia dan Inggris menjadi salah satu pelopor gaya baru dalam penataan makanan. ”Penggunaan properti sebagai elemen dekorasi mulai jadi pertimbangan penting. Hal itu menambah karakter dari makanan yang direpresentasikan.”
tirto.id – Fajar Ayuningsih, seorang penata makanan, dalam suatu masa pernah menghabiskan waktu hampir 24 jam menata satu menu makanan untuk keperluan pembuatan materi iklan. Fajar adalah apa yang disebut sebagai food stylist. Ia melakukan pekerjaan tersebut sejak tahun 1995. Saat itu, industri makanan di Indonesia mulai butuh sosok yang bisa membuat tampilan foto menu makanan tampak menarik.
Fajar masih bekerja sebagai redaktur boga di sebuah majalah gaya hidup wanita pada masa itu. Menurutnya, kala itu keterampilan menata makanan lebih banyak dibutuhkan untuk rubrik masakan di majalah. Situasi itu agak berbeda dengan Amerika Serikat yang sudah meresmikan stasiun televisi Food Network. Acara memasak seperti Iron Chef dan Martha & Snoop Potluck Dinner Party mulai muncul. Profesi pengusaha restoran, koki, juga sommelier —ahli wine— menjadi selebriti baru.
Saat itu, referensi utama Fajar hanya majalah kuliner terbitan luar negeri semisal Donna Hay. Kliennya ialah perusahaan bidang fast moving consumer goods seperti Bimoli, Masako, dan Blue Band. Tugas Fajar adalah menata makanan untuk keperluan foto pada kemasan, juga untuk iklan di majalah, atau buku masak edisi khusus, iklan televisi, maupun buklet.
Creative Review mengungkapkan bahwa setiap daerah punya gaya penataan makanan tersendiri. Pada tahun 1990-an, Australia dan Inggris menjadi salah satu pelopor gaya baru dalam penataan makanan. ”Penggunaan properti sebagai elemen dekorasi mulai jadi pertimbangan penting. Hal itu menambah karakter dari makanan yang direpresentasikan.”.
Ia mengaku bahwa pekerjaannya ialah ujung tombak dari penjualan produk makanan. Menurutnya, hingga sekarang masih banyak orang yang lebih suka menunjuk foto makanan ketimbang membaca menu. Tantangan bagi Fajar adalah bagaimana membuat foto serupa dengan makanan asli agar pembeli tak merasa tertipu.
Tren pemotretan makanan di Indonesia sudah cukup lama populer. Ia hadir di majalah-majalah wanita, juga majalah gaya hidup. Kegiatan ini makin riuh saat muncul kamera digital, juga ponsel pintar berkamera. Piranti itu harganya makin terjangkau, membuat banyak orang bisa membuat foto makanan dengan mudah.
Adha Togi, seorang fotografer makanan, mengamati bahwa kepopuleran food photography di Indonesia muncul seiring kepopuleran Instagram. Sebelumnya profesi ini telah ada tetapi tidak terekspos. “Dulu para fotografer in house Gramedia yang memotret untuk majalah Sedap sudah bisa dibilang food photographer.”
Togi memulai profesi sebagai fotografer makanan di tahun 2012. Saat itu acara Master Chef mulai ditayangkan di Indonesia. Momen tersebut membuat Togi yakin akan industri makanan akan menjadi tren di negara ini. Ia mulai menekuni profesi dengan menawarkan bantuan pada redaktur majalah gaya hidup yang hendak mengulas restoran. Dari sana Togi mulai kerap mengeksplorasi konsep foto dan melakoninya. Ia berkiblat pada Melbourne, Australia, tempat yang ia anggap sebagai Mekkah-nya ragam kuliner.
Di bulan ini ia menangani enam klien dari berbagai jenis usaha. Beberapa di antaranya ialah restoran bintang lima. Ia mengakui, sempat ada perasaan terancam seiring banyaknya food blogger. “Sempat terpikir untuk mengubah gaya foto jadi seperti blogger yang menggunakan banyak properti. Tetapi saat dipertimbangkan lebih dalam, saya hanya perlu memfokuskan diri sebagai commercial food photographer.”
Profesi tersebut membuat Togi bekerja dengan pakem klien. Dia tidak selalu bebas memotret dengan gayanya sendiri. Sesekali ia harus menangani menu fine dining. Ini menantang, sebab fine dining berukuran kecil dan cantik. Fotonya, menurut Togi, hampir pasti selalu bagus. Ini malah bisa membuat pembeli menganggap foto dan makanan aslinya berbeda.
Pernah ia bekerja hampir 24 jam untuk memotret 12 menu makanan. Butuh waktu panjang untuk mendapat persetujuan dari pihak klien. Komunikasi dengan klien biasa dilakukan lewat WhatsApp. Bisa ada revisi, maka timnya harus mengulang saat itu juga. “Begitu terus sampai semua komponen disetujui.”
Togi menyeimbangkan waktu dengan melakukan foto untuk publikasi majalah. Momen itu membuatnya bisa mengeksplorasi tema-tema foto sesuai keinginan. Setelahnya, ia kembali semangat kerja. Hasil kerja sama Togi dengan restoran baru membuat konsumen tertarik untuk datang ke tempat makan tersebut, “Karena visualisasi membuat sajian terlihat lebih lezat dan menarik.”
Pendapat Togi itu senada dengan Dennie Ramon, juga seorang fotografer makanan. Kini ia mempraktikkan teknik foto yang juga memperlihatkan suasana dan aksesori yang mendukung makanan tersebut. “Menonjolkan mood agar orang tertarik untuk mencoba. Bukan hanya menggugah selera makan,” kata Dennie.
Tiga belas tahun terakhir ia bekerjasama dengan restoran Rempah Kita. Testimoni yang ia dengar dari pihak restoran menyatakan bahwa konsumen selalu menanyakan bentuk makanan. Mereka lebih suka menunjuk gambar ketimbang membaca penjelasan pada menu.
Namun sepanjang kariernya, ia memendam kekecewaan karena Indonesia belum punya standar honor untuk fotografer. “Kini dengan waktu tiga bulan saja orang sudah bisa bilang dirinya fotografer makanan. Banyak orang yang menghubungi saya dan bertanya harga terlebih dahulu tanpa tahu karya saya,” kata Dennie yang saat ini menangani tiga klien hotel.
Keberadaan blogger yang beralih profesi sebagai fotografer makanan menurut Dennie membawa keuntungan dari sisi teknologi dan pengaruh di media sosial. Meski demikian, ia tetap akan melanjutkan profesi sebagai fotografer makanan karena ia menyukai bidang ini, bukan sekadar tren.
Ada satu benang merah di antara tiga sosok tersebut. Salah satu tantangan terbesar mereka ialah memotret dan menata menu masakan Indonesia. Banyak menu Indonesia punya warna monoton. Rendang, soto, rawon, ataupun rujak cingur, misalnya.
“Rendang salah satu jenis makanan yang sulit difoto. Saya harus menyiasatinya dengan memberi pencahayaan khusus yang bisa memperlihatkan tekstur dan gradasi warna pada daging. Latar juga harus terang. Saya harus bekerja sama dengan food stylist yang lebih mengerti teknis penataan makanan,” kata Dennie.
Sebagai food stylist, Fajar merasakan kesulitan yang sama. Ia harus memutar otak saat mengolah, misalnya, soto. Ia harus menentukan kapan kuah harus dituang dan seberapa banyak. Menurut Fajar, masakan Indonesia harus mulai bisa ditata sehingga tampak menarik secara visual. Dengan cara itu, masakan Indonesia bisa lebih mudah diperkenalkan ke seluruh dunia.
Baca juga artikel terkait KULINER atau tulisan menarik lainnya Joan Aurelia