Pendahuluan
Saya sedang duduk merenungkan apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia saat ini, dan bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Apakah ini ujian dari Tuhan?” Ataukah sebenarnya ini “Hukuman dari Tuhan?” Saya akan bahas musibah lain yang sedang melanda NKRI seperti di Lombok dan Palu, tetapi saya lebih terpaksa menulis dua peristiwa ini berturut-turut kebetulan terjadi pada hari perayaan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018.
- Apakah ini ujian dari Tuhan?
- Ataukah sebenarnya ini “Hukuman dari Tuhan?”
Saya sementara melepaskan diri keluar dari identitas yang melekat pada saya antara lain
- . Saya dilahirkan, dibesarkan dan sampai hari ini beragama Kristen
- Saya dilahirkan dan saat ini hadir ke bumi sebagai orang Papua
Saya kira penghapusan dua atribut yang melekat pada tubuh fisik jasmani ini secara biologis dan sosial sudah cukup membantu saya berbicara agak bebas sebagai seorang manusia, menjawab dua pertanyaan di ats.
Kalau Tuhan menguji, maka tujuannya bukan untuk membunuh. Anak sekolah diuji di akhir semester atau akhir tahun bukan untuk dibunuh, dijatuhkan atau dikeluarkan dari sekolahnya. Ujian yang kita berikan kepada seorang calon pengendara bukan untuk menghentikan dia bawa kendaraan, tetapi justru untuk meloloskan dia. Ujian bertujuan untuk memberikan kehidupan bukan mengakhirinya.
Ini alasan sangat sederhana dan tegas untuk mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia yang berakibat kematian, “bukan sebagai ujian”. Kalau Tuhan menguji kita dengan membunuh kita, maka itu logika sehatnya di mana?
Saya sudah mengeluarkan diri saya sebagai orang Kristen dan sebagai orang Papua, saya bicara sebagai seorang manusia yang bermoral dan punya nurani untuk menilai dan mengambil makna dari apa saja yang terjadi dalam hidup ini.
Kalau saya mau katakan ini semua sebagai hukuman, maka logika sehat dan nurani saya mengatakan, “benar!” ini memang hukuman.
Pertanyaan sekarang,
- Hukuman atas apa?
dan
- Hukuman kepada siapa?
Yang dihukum ialah manusia-manusia yang menjadi penumpang, pramugara/i dan pilot, tetapi apa salah mereka? Apa yang sedang terjadi?
Bisakan kita membawa masuk “hukuman” ini dalam konteks “Lion Air'” sebagai sebuah perusahaan penerbagan, atau kepada “Negara Indonesia” sebagai negara di mana Lion Air beroperasi, atau rute penerbangan yang kita mau pikirkan Tuhan sedang menghukum?
Atau salah berapa orang yang ada di dalam pesawat menjadi alasan Tuhan menghukum mereka? Kalau ada 10 orang yang salah di dalam pesawat yang Tuhan mau hukum, mengapa mengorbankan ratusan orang lain hanya untuk menghukum 10 orang?
Kata Hati Saya
Pucuk pimpinan negara ini, mulai dari Presiden Joko Widodo sampai ke menteri-menteri koordinator dan menteri kabinet Indonesia Kerja harus berintrospeksi diri.
Secara hukum alam di dalma budaha Melanesia, kasus-kasus seperti ini disebut sebagai sebuah tragedi kemanusiaan. Hal kecil saja pada Tanggal 27 Oktober 2018, Indonesia merayakan Hari Sumpah Pemuda, dan hari itu katanya harus menang dari Jepang dalam pertaindingan Sepak Bola, kok alam Jakarta menolak tegas pertandingan itu.
Gelora Bung Karno Jakarta dibabat hujan sampai kesebelasan Garuda NKRi tidak sanggup berbuat banyak. Anak Papua dari Sarmi, Ferre dimasukkan untuk menyelamatkan Garuda NKRI juga tidak sanggup. Indonesia kalah.
Sehari setelah itu Lion Air jatuh.
Kalau saya Presiden NKRI, saya akan duduk minta ampun kepada Tuhan, kepada nenek-moyang, kepada bangsa dan umat yang menderita karena kepemimpinnan saya, dan saya akan katakan kepada Tuhan,
“Cukupkanlah hukuman ini, aku sudah paham maksud-Mu! AKu bertobat.!
Kalau hal seperti ini dianggap ujian Tuhan, maka kita akan terus ramai-ramai berbuat kejahatan, dan hukuman akan terus berjatuhan, dan maaf sekali, kita akan ke mana?
Sumpan Pemuda itu sebuah “sumpah”, yang artinya ada hubungan langsung dengan “Tuhan”, ini bukan janji, ini bukan kontrak, tetapi “Sumpah!” Orang Papua yang tidak “bersumpah”, tetapi dipaksakan sudah bersumpah, ada bangsa lain yang tidak itu sumpah dicap sebagai orang yang sudah sumpah.
- Di balik Lion Air sebenarnya ada apa dan ada siapa?
Maaf saja
Maaf saja, orang Papua itu sama dengan kebanyakan orang di Indonesia, menerima apa adanya. Jarang sekali orang Papua mengeluarkan keluhan dan protes atas kejadian-kejadian seperti ini. Di otak orang Papua itu adanya “Papua Merdeka” sehingga racun pun diminum, beras bulog untuk ayam-pun dimakan, miras mengandung formalin-pun diminum, tiap hari makan nasi padahal dirinya dan nenek-moyangnya tidak pernah menanam dan tidak punya sawah padi.
Jadi, mentalitas “menerima apa adanya” membuat maskapai penerbangan berbuat apa saja semaunya, tanpa pernah memperbaiki diri, tanpa pernah diperbaiki masyarakat umum.
Mentalitas orang Papua yang tidak pernah terlibat dalam Sumpah Pemuda tetapi tiap HUT Sumpah Pemuda bicara seolah-olah nenek-moyangnya pernah bersumpah kepada Tuhan juga menjadi masalah bangsa Papua.
Hal-hal seperti ini seharusnya mengajar kita “merevolusi mental” dan “mereformasi pemikiran” kita sehingga kita melihat diri kira, dunia kita, sesama kita berbeda dari waktu sebelumnya.