Kisah mendayung di Danau Sentani ini sudah lama saya mau ceritakan.
Waktu itu tahun 1981, saya masih ingat suasana hati saya, pada saat pertama-tama diajak oleh kakak saya, untuk menyeberangi Danau Sentani, Danau yang akan dilihat semua orang saat tiba di Jayapura, ibukota Provinsi Papua. Danau Sentani terbendang panjang dari Distrik Sentani Timur, Distrik Sentani Tengah sampai berakhir di Distrik Sentani Barat, bahkan sampai Distrik Sabron Samon, dari mana ayah saya berasal.
Saya lahir di kampung halaman ayah saya, tetapi pada umur 1 atau 2 tahun sudah dibawah ke Wamena, samp[ai usia 13 tahun kembali lagi ke Sentani, untuk melanjutkan sekolah ke SMP. Waktu itu Lukas Enembe, Gubernur Provinsi Papua sekolah di SPM Negeri 1, Sentani, sedangkan saya dengan teman-teman se-sujku saya lainnya sekolah di SPM Negeri 3 Sentani, tepat di Pendopo Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay saat ini.
Waktu itu sekolah ini disebut Sekolah Teknik Negeri Sentani, kemudian saat kami masih sekolah dirubah menjadi SMP N 3.
Ada dua peristiwa yang sangat saya tidak akan pernah lupakan sampai saya mati: yaitu pertama melihat Laut dan kedua melihat mendayung dengan perahu menyeberangi Danau Sentani. Saya akan ceritakan tentang melihat laut dalam tulisan lain, sekarang saya mau berkisah tentang pengalaman mendayung dari Netar ke Kampung Putali.
Waktu itu Putali dan Ayapo, Hobong dan lainnya di Danau terasa seperti planet lain, dalam bayangan saya waktu itu masih tergambar hari ini, begitu jauh, begitu terisolir, begitu terbelakang. Saya masih ingat nama teman-teman saya: Agust Suebu, Adolf Ibo, Ricky Deda, Kundrat Kabey, Bastiana Kabey, Margaretha Pepuho, Agusta Wali, Abdul Muin (Netar), Widodo, Abdul Kazim. Saya juga masih ingat nama-nama guru saya: Abdul Gofar (Guru Pancasila), Kardi (Guru Geografi dan Kependudukan), A. Hakim A. Halim (Guru Kesenian dan BP), dan masih banyak lagi nama-nama.
Di akhir semester, tahun 1981, waktu itu saya di kelas 2 STN dan papan nama, guru-guru, semua sedang berubah dari ST menjadi SMP Negeri 3 Sentani. (Saya tidak tahu SMP Negeri 2 di mana waktu itu). Saya belum lancar berbahasa Indonesia, saya juga belum berani bergaul dengan teman-teman, alasan utama tidak tahu bahasa Indonesia.
Pak Guru A. Hakim pimpin kami anak-anak di akhir semester untuk bertamasya ke kampung. Waktu itu ke kampung-kampung di Sentani masih jaaauuuh lebih sulit. Banyak izin, banyak pengaturan dilakukan sebelumnya. Dan Pak Hakim berhasil.
Kami berangkat di pagi hari, tepat pukul 7 semua berkumpul di sekolah, di Pendopo Theys (waktu itu kompleks sekolah saya). Kami diangkut dengan truk ke Netar, lalu dari Netar kami diangkut menggunakan perahu-perahu dayung.
Saya mau kasih tahu, waktu itu saya tidak pernah lihat perahu Johnson, tidak ada kedengaran mesin sama sekali di danau. Semua orang, termasuk teman-teman asya Deda, Suebu dan Ibo tadi, mereka mendayung datang ke sekolah dari kampung mereka. Saya masih ingat teman-teman saya yang datang sekolah masih kelihatan kaos kaki dan celana mereka basah.
Pagi itu kami tiba sekitar jam 8 di Netar, lalu kami mulai mendayung. Sang Kepala Sekolah atau Pak Hakim tidak tahu kalau seumur hidup saya tidak pernah menyentuh Air Danau, apalagi naik ke atas perahu. Giliran saya untuk naik perahu datang. Saya sudah beberapa giliran saksikan teman-teman lain naik perahu dayung. Saatnya giliran saya tiba, saya panjatkan doa, “Ya Tuhan Yesus, ampuni dosaku, lindungi aku, saya harus menjadi korban tanpa salah. Saya minta Engkau yang berjalan di atas Danau Galilea datang menopang saya” dan sebagainya saya masih ingat kekacauan pikiran, kekacauan doa dan sebagainya. Sayapun saat ini sulit mengkisahkan apa yang saya alami waktu itu, “speechless, itu yang tepat saya katakan.
“Off you go”, saya naik ke atas perahu. Sejak saya naik perahu, terasa-rasa, serta-merta, segera terlihat oleh saya dengan jelas, perahu itu akan segera terbalik, dan kita semua akan segera tenggelam. Dayung satu, dayung dua, dayung tiga, dayung seratus, dayung seribu, tidak terasa kami sudah berada jauh dari tepian. Saya buka mata sedikit-sedikit setelah beberapa menit, dan saya sadari kami sudah 100% di atas danau, tidak ada darat lagi.
Maklum, nenek moyang saya dan darah saya, nafas saya tidak mengenal air, apalagi genangan air besar, apalagi mendayung di atas air besar seperti ini.
Saya menutup mata terus, nafas saya tidak normal terus, rasa kencing, rasa macam-macam, sedih, marah, apa saja semua keluar. Saya tahan. Sayapun tidak tahu bahasa Indonesia untuk menjelaskan perasaan saya kepada semua pihak yang ada sama-sama. Mau bilang “Saya senang!” mau bilang “saya takut”, mau bilang “saya gementar”, mau bilang “ini dan itu”, saya tidak tahu bahasa dan kata-kata Indonesia untuk mengatakannya.
Ditambah lagi, saya tidak tahu juga perasaan apa lagi yang muncul. Rasa takut sudah tidak dapat diobati, karena sudah terlanjur di dalam air. Rasa marah kepada siapa? Dan seterusnya. Akhirnya semua rasa itu hilang, karena tidak menemukan jalan keluar, jalan solusi. Akhirnya semua rasa memupuskan harapan untuk mendapatkan reaksi. Dan saya akhirnya punya “kosong perasan”, tanpa perasaan apa-apa, ya, saya pingsan.
Saya pingsan tepat saya berada di tengah-tengah danau.
Waktu itu setiap kali berangkat hanya 3-4 orang. Tidak bisa banyak orang karena perahu-perahu itu adalah perahu dayung pribadi dan keluarga. Waktu tempuh masing-masing perahu ditentukan oleh berbagai faktor, termasuk si pendayung sendiri dan kondisi angin juga, kondisi perahu dan sebagainya.
Saya tiba dalam kedaan pingsan. Untung saja waktu itu di atas air, jadi orang tidak perlu pergi menimba air untuk menyirami saya yuang sedang pingsan. Mereka tinggal timba dengan tangan, di telapak tangan dan langsung disiramkan ke atas kepala saya. Pak Guru A. Halim A. Hakim berjasa besar dalam hal ini. Saya berhasil lolos hidup sampai ke darat, ke Putali.
Setelah tiba-pun saya masih belum bangun dari tidur karena takut tadi.
Acarapun dilangsungkan, mandi-mandi dilakukan, makan Papeda sudah terjadi. Saya bangun beberapa jam setelah itu.
Setelah saya bangun, saya diberikan Papeda Bungkus dan ikan. Saya hanya makan ikan dan singkong rebus, saya buang Papeda Bungksu karena saya tidak tahu cara memakannya, dan saya tidak punya kata-kata bahasa Indonesia untuk bertanya tentang jenis makanan baru ini.
Kami pulang di sore hari, menjelang malam. Saya-pun mengajukan satu pertanyaan kepada guru saya, dengan bahasa Indonesia yang saya tidak jelas, saya berdiri lalu saya bilang, “Saya pulang!” Dengan bahasa tubuh saya, saya buat jalan kaki ke arah Sentani Kota, dan saya bilang dia, “Perahu tidak!”, lalu saya lari naik ke atas bebukitan kampung.
Padahal Anda tahu? Kalau saya jalan kaki, saya akhirnya akan tembus entah ke alang-alang besar, dan bisa sampai ke Arso, bukan ke Sentani Kota.
Guru saya melihat apa yang saya lakukan dan waktu itu saya dengan jelas mengerti reaksi yang dirasakan guru saya, Pak Hakim. Dia sangat sedih melihat saya. Saya merasakan seperti sudah salah menempati dunia ini. Saya di waktu yang salah, dan tempat yang salah pula. Datang dan tiba dalam keadaan pingsan, pulang harus pingsan lagi baru bisa, tanpa pingsan tidak akan pernah pulang.
Ini mimpi di alam sadar.
Yang saya lakukan waktu itu ialah menangis, dan menangis. Guru saya pun ikut menangis. (Nanti saya akan ceritakan siapa Guru ini dalam kisah lain). Semua anak-anak lain sudah pulang, tertinggal saya dengan satu orang Guru dan teman karib saya, Ricky Deda, orang Ayapo. Teman saya ini sangat lembut suaranya, saya curiga sekarang, dia pati Seorang keuturunan Ondoafi. Ayahnya guru Sekolah Dasar di Ayapo waktu itu.
Dengan ditemani teman Deda, saya-pun memutuskan realitas waktu itu, bahwa hanya satu jalan saja untuk balik ke Sentani, yatiu jalan perahu, tidak ada pilihan lain.
“Off you go”, kami bertiga naik ke perahu, kali ini kami ditemani tiga orang Putali, yang sekaligus berfungsi sebagai pendayung. Kali ini kami punya tiga orang pendayung sekaligus di atas perahu. Dan dengan bantuan ini, kami pulang dalam waktu lebih cepat, menurut guru saya, daripada waktu yang ditempuh saat pergi ke kampung. Saya pingsan waktu pergi, jadi tidak dapat menilai mana yang cepat, dan mana yang lambat.
Kami balik ke Sentani, dan tiba di Sentani di waktu gelap-gulita. Saya kira waktu itu sekitar jam 7 malam. Semua jalan di Sentani tidak punya lampu. Netar itu hutan besar, jalan-pun masih aspal asal-asalan, dan terasa hutan-rimba di pinggir danau. Apalagi Hawai sampai Kemiri, jalan-jalan masih dikepung oleh alang-alang. Mobil hanya lewat satu dua mobil di siang hari, dan malam sama-sekali tidak ada mobil yang lewat.
Saya diantar ke tempat tinggal, dan saya kembali jatuh ke lantai, saya pingsan.
Masih ada kisah lain yang akan hadir, mari ktia berkisah, karena kisah kita menjadi renungan bagi pribadi kita, dan lebih utama bagi generasi penerus untuk mendapatkan bayangan kondisi yang pernah ada dan dialami oleh generasi sebelumnya.