Oleh Susan Chenery
Ketika Pita Taufatofua berjalan menuju stadion untuk pembukaan Olimpiade Rio 2016, dia adalah seorang atlet dari Kepulauan Pasifik yang tidak dikenali. Dia keluar dari stadion itu sebagai selebritas global. Kalau bukan karena balutan minyak kelapa dan bakatnya untuk mengibarkan bendera, dia terlewatkan tanpa laporan dan liputan apa-apa.
Saat itu ia melawan perintah yang terang-terangan meminta ia agar “tolong pakai jas saja”, ia menyelipkan ta’ovala (tikar Tonga untuk dililitkan di pinggang) ke dalam tasnya, dan mengganti kostum tepat sebelum acara dimulai, melumas dirinya dengan minyak. Pada saat ia berjalan melewati ribuan orang berjejer di tepi jalan menuju ke stadion, ia menjadi viral. Ketika dia masuk ke stadion melambaikan bendera Tonga, berbagai artikel telah ditulis tentang pembawa bendera Tonga yang bertelanjang dada, kemudian ia viral di Twitter.
Taufatofua, katanya, sama sekali tidak siap. Tidak ada manajemen, tidak ada sponsor, tidak ada uang, yang ada hanya dia dan pelatihnya, Paul Sitapa.
“Itu adalah pertama kalinya saya tahu apa itu manajer, apa itu humas, apa itu agen. Sebelumnya hanya saya dan pelatih saya yang mencoba untuk mengatur semua ini. Kami adalah dua orang yang tidak tahu apa-apa. Tidak ada yang pernah mendengar tentang Tonga.“
Taufatofua berkata, dia hanya mencoba mewakili negaranya dengan mengenakan kostum tradisional Tonga. “Saya mewakili sejarah yang berusia ribuan tahun. Kita tidak memakai jas dan dasi ketika kita melintasi Samudra Pasifik.”
Dalam turnamen taekwondonya, ia tersingkir di babak pertama, kalah 16-1 dari atlet Iran, Sajjad Mardani, namun itu bukan masalah besar karena dia sudah menang.
Pada akhir minggu itu, ada 230 juta pencarian “di mana Tonga?” di Google. I tampil di sejumlah acara talk show Amerika Serikat.
Ia lalu mengumumkan akan mengikuti Olimpiade Musim Dingin 2018 di Korea dalam cabang olahraga lain – ski lintas negara atau cross-country skiing.
Pada awalnya hanya ada kegagalan
Kita bertemu di Suva, saat Taufatofua sedang bertugas sebagai duta UNICEF Pacific. Dia baru saja menghabiskan satu hari dengan Duke dan Duchess of Sussex di Tonga, dan berada di Fiji untuk tampil dalam acara televisi realitas (reality show) Pacific Island Food Revolution, yang sedang difilmkan di hotel Grand Pacific.
Berhadapan dengannya, Taufatofua, 34, sangat jauh dari citranya yang viral. Ia sopan dan fasih dalam berbicara, seorang pria berpendidikan dengan gelar teknik dari Universitas Queensland, dan seorang Kristen yang bekerja dengan anak-anak tunawisma selama 15 tahun di Brisbane Youth Service.
Giginya yang putih mengkilap, dan torso yang tenar itu dibalut kaos UNICEF. Dia sudah berhasil menang hanya dengan menghadiri Olimpiade. Dia tidak bekerja satu malam untuk mendatangkan capaian itu. Perlu 15 tahun dan berbagai cedera dan kegagalan.
“Dalam ingatan saya, enam kali patah tulang, tiga ligamen robek, satu setengah tahun menggunakan kruk untuk membantu ia jalan, tiga bulan di kursi roda, dan ratusan jam serta sesi fisioterapi,” katanya.
Ibunya, berasal dari Australia, adalah seorang perawat yang sekarang bekerja sebagai menjadi Konsultan Sanitasi di Pasifik Selatan; ayahnya orang Tonga dengan gelar PhD dalam ilmu pertanian dan bekerja sebagai penelitian dengan pemerintah. Ia lahir di Brisbane, tetapi bersekolah di Tonga. Ada tujuh anak dalam keluarganya dan uang sangat terbatas. “Mereka (orang tuanya) tidak punya banyak uang, karena mereka harus membayar pendidikan terbaik bagi kami. Di antara kita, ada delapan gelar sarjana dan dua gelas master.”
Di Tonga pun, secara fisik, ia lebih kecil daripada orang lain. Dia duduk di bangku cadangan selama empat tahun saat bermain football, padahal “saya tidak pernah melewatkan latihan. Saya berlatih setiap hari,” katanya. Satu-satunya saat di mana dia bisa turun ke lapangan hijau adalah untuk membagikan jeruk dan air, kepada para pemain sepakbola lainnya.
Ketika dia berusia lima tahun, ibunya mendaftar Taufatofua ke kelas taekwondo agar bisa “membela diri, untuk melindungi diri saya sendiri. Seluruh keluarga saya juga ikut taekwondo. Saudara laki-laki saya baru saja mendapatkan sabuk hitamnya.”
Ketika ia berusia 12 tahun, jalan-jalan dari bandara ke pusat kota dipenuhi oleh pendukung Paea Wolfgramm, orang Tonga pertama yang memenangkan medali di jenjang Olimpiade, medali perak dalam olahraga tinju di Atlanta pada 1996.
“Saat itulah muncul dalam pikiran saya, ‘saya akan berlomba di olimpiade’. Dan pikiran itu tidak pernah hilang,” kenang Taufatofua. “Saya bekerja penuh waktu, belajar penuh waktu, saya berlatih penuh waktu. Pikiran saya selalu sama, ‘kamu akan menjadi atlet olimpiade’.”
Dan dari situ, mulailah tahun-tahun yang menyakitkan dan penuh kekecewaan.
Setiap empat tahun hanya ada satu kesempatan untuk masuk olimpiade dengan turnamen kualifikasi Olimpiade. “Saya harus menjadi atlet nomor satu di Oceania untuk dapat mewakili Tonga.”
Pada 2008, dia pergi ke pertandingan kualifikasi Olimpiade di Kaledonia Baru dan pulang duduk di kursi roda.
Pada 2011, dalam persiapan untuk olimpiade di London, ia pergi untuk berlatih dengan para master taekwondo di Korea Selatan, meski dia tidak memiliki banyak uang. “Kami tidur di gedung sekolah selama enam bulan.” Dalam suatu kejuaraan di Azerbaijan, juga merupakan pertandingan kualifikasi, ia merobek ligamen lututnya, cedera yang biasanya bertahan selama enam bulan. Tapi delapan minggu kemudian, ia berhasil lolos ke kualifikasi olimpiade Oceania, bertarung dengan satu kaki.
Dia terus berlomba di Pasifik, menang dan kalah, cedera demi cedera. Orang-orang mulai menyuruh dia untuk berhenti.
‘Saya memilih untuk belajar dari kegagalan’
Beberapa bulan setelah Rio, dia mengumumkan akan mencoba bertanding dalam Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang untuk cabang olahraga ski lintas negara. Bagi seseorang yang menghabiskan seluruh hidupnya di daerah tropis, mimpi ini tampak sangat gila. “Saya suka tantangan seperti itu,” ia tersenyum.
Dia menonton berbagai video di YouTube, dan pukul 5 pagi setiap hari dia menyambar peralatan rollerski-nya, dan berlatih di taman.
Dia mungkin tidak pernah memenangkan medali Olimpiade, tetapi Taufatofua telah menyambut semua kesempatan yang diberikan padanya saat ini. Dia menerima berbagai tawaran film dan TV. Dia pernah berpidato di majelis umum PBB dan di Massachusetts Institute of Technology bersama PM Kanada, Justin Trudeau. Dia menulis buku mengenai motivasi, The Motivation Station, dan satu lagi tentang depresi. (Guardian News)
Editor: Kristianto Galuwo