Shalom!
Melalui surat terbuka ini, saya menyampaikan terima kasih banyak kepada Saudara-saudara dari seluruh Indonesia dan seluruh dunia atas dukungan doa dan moril untuk meringankan dan mengakhiri penderitaan rakyat Papua
Dari tahun ke tahun atau dari waktu ke waktu, Gereja-gereja di Papua merayakan Natal 25 Desember dengan Tema: DAMAI dan DAMAI dan DAMAI dan terus DAMAI di setiap mimbar-mimbar Gereja. Tetapi, realitas hidup rakyat Papua, terutama orang asli Papua paradoks atau bertolak belakang dengan tema-tema Natal.
Perayaan Natal di Tanah Papua sesungguhnya menjadi jawaban untuk mengubah wajah cengkeraman “RASISME, KETIDAKADILAN, REMILITERISASI, KEKERASAN NEGARA, PELANGGARAN BERAT HAM, MARGINALISASI, PEMUSNAHAN ETNIS,
PENGHANCURAN HUTAN, GUNUNG, PERAMPOKKAN TANAH DAN SUMBER DAYA ALAM” yang dilakukan penguasa Indonesia yang berlansung lama sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini. Pesan Natal seharusnya menciptakan Papua Tanah Damai Permanen.
Tetapi, Papua tetap menjadi Tanah Konflik, Tanah Kekerasan, Ladang Pembantaian yang terjadi atas nama keamanan dan kepentingan nasional. Pesan Natal juga tidak pernah mengubah stigma-stigma dan mitos-mitos seperti separatis, makar, OPM dan yang terbaru adalah KKB. Mitos-mitos jahat ini berulang-ulang dari tahun ke tahun tetap dipelihara serta dikeluarkan dari mulut dan hati aparat keamanan TNI-Polri. Ini sudah tidak normal dan ini kejahatan kemanusiaan harus diubah dengan kuasa pesan-pesan Natal untuk kedamaian.
Sayang, gema Natal di Papua adalah gema Natal yang semu dan kosong tanpa dampak. Karena kekejaman dan kejahatan Negara tetap menggurita di Papua. Gema Natal hanya di gedung-gedung megah dan mewah yang ber-AC serta susunan kursi yang teratur, musik Natal yang merdu seakan-akan di Tanah Papua tidak ada masalah kemanusiaan dan ketidakadilan.
Dalam Natal tidak terdengar doa untuk penderitaan sesama di Nduga, di Intan Jaya, di Puncak dan hampir di seluruh Tanah Papua. Tetapi, terdengar doa-doa dengan susunan kata-kata yang indah tapi semu dan hampa hanya mendoakan penguasa Indonesia tanpa menyadari penderitaan, kesusahan serta kesulitan orang asli Papua dilakukan oleh Negara secara sistemik dan terstruktur serta masif.
Kita perlu belajar ada pelajaran berharga untuk perayaan Natal dari Negeri Belanda. Saya mengutip isi pesan dari teman saya dari Negeri Belanda pada 20 Desember 2020.
“Kemarin Natal Papua di Negeri Belanda Online, Pendeta Henk khotbah tentang cerita dari pak Pendeta Yoman.
Tentang anak dan mama di Nduga. Sayangnya tidak dengan Bahasa Melayu.
Tapi ceritanya sedih sekali.”
Saya sampaikan salah satu contoh dari belasan dan puluhan bahkan ribuan kasus sedih yang menyentuh hati kita semua. Ada kisah seorang ibu hamil yang sangat menyedihkan dan menyentuh hati nurani kita semua akibat Operasi Indonesia Militer di Nduga.
“Saya melahirkan anak di tengah hutan pada 4 Desember 2018. Banyak orang berpikir anak saya sudah meninggal. Ternyata anak saya masih bernafas. Anak saya sakit, susah bernafas dan batuk berdahak. Suhu di hutan sangat dingin, jadi waktu kami berjalan lagi, saya merasa anak bayi saya sudah tidak bergerak. Kami pikir dia sudah meninggal. Keluarga sudah menyerah. Ada keluarga minta saya buang anak saya karena dikira dia sudah mati.
Tetapi saya tetap mengasihi dan membawa anak saya. Ya, kalau benar meninggal, saya harus kuburkan anak saya dengan baik walaupun di hutan. Karena saya terus membawa bayi saya, saudara laki-laki saya membuat api dan memanaskan daun pohon, dan daun yang dipanaskan itu dia tempelkan pada seluruh tubuh bayi saya. Setelah saudara laki-laki tempelkan daun yang dipanaskan di api itu, bayi saya bernafas dan minum susu.
Kami ketakutan karena TNI terus menembak ke tempat persembunyian kami. Kami terus berjalan di hutan dan kami mencari gua yang bisa untuk kami bersembunyi. Jadi, saya baru tiba dari Kuyawagi, Kabupaten Lanny Jaya. Kami berada di Kuyawagi sejak awal bulan Desember 2018. Sebelum di Kuyawagi, kami tinggal di hutan tanpa makan makanan yang cukup selama beberapa minggu. Kami sangat susah dan menderita di atas tanah kami sendiri.” (Sumber: Suara Papua, 8 Juni 2019).
Ini semua sebenarnya sudah luka membusuk dan bernanah. “Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.”( Magnis, 2015:255). “Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” ( Lieshout: 2020:601).
Saudara-saudara, pada saat Natal, jangan lupa berdoa untuk ketidakadilan dan kekerasan Negara yang masih berlangsung di Papua. Kami sangat membutuhkan dukungan doa dan moril dari semua saudara Muslim, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu dan juga dari semua saudara-saudara tidak berada dalam agama-agama tapi yang mengasihi dan menghormati martabat kemanusiaan dan kesamaan derajat.
Saudara-saudara adalah Muslim, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu berlainan warna kulit: putih, hitam, kuning dan rambut lurus, rambut pendek dan rambut kuning. Tetapi, kita sama-sama ciptaan TUHAN (Kejadian 1:26) dan kita semua berdarah MERAH.
Mari, kita menjadi penjaga dan pelindung Saudara Muslim, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, karena semua diciptakan Tuhan. Supaya kita menciptakan dunia yang harmoni dan perdamaian permanen untuk semua.
Tuhan memberkati kita semua.
Selamat Natal 2020 dan Tahun Baru 2021.
Ita Wakhu Purom, 20 Desember 2020.
Dari Gembala Dr. Socratez S. Yoman,MA
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP)
Anggota:
1. Dewan Gereja Papua (WPCC)
2. Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
3. Baptist World Alliance (BWA).
Kontak: 08124888458