Kobar Asa Lelaki Wamena menjadi cerit amenarik untuk disimak
Dibutuhkan kreativitas untuk mengolah potensi alam negeri menjadi sesuatu yang membanggakan. Semuanya demi menyelamatkan warisan nenek moyang.
Tanah Papua tidak hanya dikenal di dalam negeri. Bahkan beberapa negara begitu mengagumi wilayah dengan keberagaman suku, budaya, bahasa, dan tradisinya itu. Alam yang eksotik dengan kekayaan flora dan fauna yang sulit ditemui di wilayah lain membuat siapapun berdecak kagum. Salah satu kekayaan yang dimiliki bumi Cenderawasih itu adalah ubi jalar yang dalam bahasa suku Dani disebut hipere.
Dalam tradisi Cina kuno, ubi jalar memiliki filosofi yang unik. Ubi jalar merupakan tanaman yang mampu bertahan hidup di segala musim dan beradaptasi dengan segala jenis tanah. Bahkan ubi jalar hampir tidak membutuhkan pupuk, sangat kuat terhadap serangan hama, serta tumbuh secara alami.
Demikian halnya dengan masyarakat Wamena (suku Dani) yang menjadikan hipere sebagai makanan pokok. Hipere merupakan sumber hidup suku Dani. Teknik dan budidaya hipere dilakukan secara tradisional dan sudah berlangsung turun temurun. Pembagian kerja dalam pengelolaan hipere cukup unik.
Kaum pria bertugas menggemburkan tanah menggunakan perangkat tradisional. Sementara itu kaum perempuan bertugas menanam, memanen, hingga menjual ke pasar. Selain menggunakan parang, sekop, dan linggis, dahulu suku Dani menggunakan alat tradisional yang terbuat dari kayu atau bambu. Seiring perkembangan jaman, mereka mulai menggunakan alat-alat pertanian modern.
Adalah Kiloner Wenda, pria Wamena yang menciptakan ‘Hiperebar’, nama makanan ringan dengan bahan dasar hipere. Dalam wawancara dengan Majalah Lani di sela-sela pelatihan wirausaha, tahun lalu di Jayapura, Wenda menjelaskan, ubi jalar hampir ditinggalkan oleh kaum muda di Papua. “Dalam pandangan mereka, ubi jalar adalah makanan kuno yang identik dengan masyarakat miskin,” kata Wenda.
Sebagai putra daerah, Wenda berusaha mengubah pandangan tersebut. Kaum muda Papua harus bangga dengan pangan lokal. Hipere merupakan identitas Papua yang sarat gizi. Ubi jalar dikemas sedemikian rupa agar tampil elegan dengan cita rasa yang unik. Bahkan di Korea, umbi-umbian menjadi makanan yang cukup berkelas. “Sepantasnya kita memperjuangkan ubi jalar sebagai sumber hidup,” tutur Wenda.
Wenda, lulusan Fakultas Teknik Elektro Universitas Wisnuwardhana Malang merupakan lulusan terbaik di angkatannya. Disiplin ilmu yang dipilihnya memang tidak sejalan dengan bisnis yang kini tengah digeluti. Namun demikian, kerja keras dan sifat pantang menyerah yang diwariskan dari sang ayah menjadikannya selalu kuat terutama saat dihempas gelombang ujian kehidupan.
Melalui PT Republik Hipere yang didirikannya, Wenda menanamkan kecintaan kaum muda Papua terhadap hipere. PT Republik Hipere hadir untuk menyulap rasa malu bahwa ubi jalar tak ubahnya menu kuno menjadi menu yang membanggakan dan elegan. “Sekarang tak ada alasan lagi bagi siapapun untuk tak bangga mengonsumsi makanan ringan khas Wamena yang nikmat dan sarat gizi ini,” ujar Wenda.
Memerdekakan
Wenda, putra kedua dari empat bersaudara menjelaskan, untuk sementara Hiperebar hanya dipasarkan di beberapa outlet di Wamena. Rencananya awal tahun depan produksi akan ditambah untuk menembus wilayah lain di Papua. PT Republik Hipere memiliki 11 karyawan yang bekerja dalam keterbatasan. Bukan hanya kendala finansial yang dihadapi, juga kurangnya SDM yang mampu mengelola. “Karena itu saya bekerja keras dengan penuh kesabaran untuk membimbing semua karyawan yang memang memiliki tingkat pengetahuan yang minim,” kata Wenda.
Kemasan yang digunakan masih dipesan dari Jakarta. Mahalnya biaya transportasi karena harus menggunakan pesawat menjadi kesulitan tersendiri dalam menentukan harga jual. Namun lagi-lagi hal itu tak menjadi hambatan bagi Wenda. “Saya terus melangkah maju dengan segala ide brilian untuk memajukan tanah Papua, khususnya orang-orang gunung,” tutur Wenda.
Sebagai seorang yang masih berusia muda, Wenda menilai tidak mudah mengubah kebiasaan hidup masyarakat Wamena. Mereka harus memiliki cukup ilmu sebagai modal berkompetisi di kehidupan yang modern ini. Di tengah derasnya isu tentang kemerdekaan, Wenda tak tinggal diam. Ia berperan aktif untuk memerdekakan kaumnya, tapi dengan cara yang berbeda, lebih arif dan santun. Segala niat luhurnya semata dilandasi cinta kepada sesama. “Saya tidak ingin masyarakat Wamena dikatakan kaum primitif dan tertinggal,” kata Wenda.
Menurut Wenda, yang lebih utama adalah bagaimana masyarakat Wamena bangkit membangun tanah leluhurnya. Dengan demikian orang di luar Wamena tidak lagi memandang mereka sebelah mata. “Suatu saat nanti mereka akan mengakui bahwa kami mampu bangkit dari segala ketertinggalan,” tuturnya.
Semangat kewirausahaan yang ditunjukkan Wenda membuat banyak pihak kagum. Salah satunya adalah Ketua Lembaga Masyarakat Adat Pegunungan Tengah di Jayapura, Drg Aloysius Giyai, M.Kes, yang kini menjadi orang nomor satu di Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Menurut beliau, Wenda adalah pemuda yang memiliki kecintaan kepada tanah leluhurnya, khususnya orang-orang gunung. “Ia membuktikan bahwa pemuda gunung bisa menaikkan derajat kaumnya secara finansial. Orang muda Papua harus belajar dari Wenda,” ujar Drg Alo. (Farida Ugesta/Majalah Lani)