Satu hal lagi saya mau katakan tentang “melotot ke dalam mata”, atau melihat ke dalam pintu hati/ jiwa seseorang. Saya sudah ulas apa-apa saja yang terjadi dalam “melotot ke dalam mata“, dan apa yang saya rasakan pada waktu saya melakukannya. Dalam kisah ini saya hanya mau sampaikan aspek psikologis dari melotot ke dalam mata, yaitu saya temukan sebuah “insan’, “oknum”, manusia yang polos, sejati, apa adanya.
Ya, saya melihat dia sepolos-polosnya, dalam kondisinya yang sebenarnya. Itu benar, dan saya dapat merasakannya bahkan sampai saat saya meng-kisahkan pengalaman ini.
Tolong perhatikan, di dalam biji mata ini, di pintu jiwa ini, tidak termasuk warna kulit, tidak termasuk kewarga-negaraan, tidak ada jenis rambut, tidak ada kaitannya dengan agama, kaya atau miskin, lelaki atau perempuan, tua atau muda, tidak, sama sekali tidak ada di sini. Semuanya ini tidak ada di sini. Di sini saya sedang melihat ke dalam sebuah jendela dari sebuah jiwa, insan manusia.
Dan jiwa insan itu begitu polos, begitu murni, yaitu sejati, seadanya seperti yang ada. Tidak dibuat-buat, tidak ada embel-embel, tidak direkayasan, semurni-murniya.
Pada saat melotot, kita diarahkan untuk menarik nafas dan melepaskan nafas lewat mulut, dan sementara itu melotot ke mata pasangan kita. Apa itu nafas? Ya, ialah pertanda insan itu hidup, berada dan hadir, bukan? Maka saat melihat ke dalam jiwa itu, kita mengajak dia bergerak,berbicara, berkomunikasi.
Dan komunikasi ini, saya mau katakan, inilah komunikasi sejujur-jujurnya, seada-adanya.
Ada orang yang sudah saya bertemu sebelum ritual dimulai. Mereka tersenyum, gembira, entusiastik dan sangat hidup. Apa yang saya lihat saat melihat ke dalam lewat jendela jiwa? Ternyata senyuman, kegirangan, kegembiraan, semangat, antusiasme itu hanyalah make-up di luar, baju dan celana, isi daripada semua yang indah dan menarik itu, adalah, maaf saya harus katakan ini, “KOSONG”, yaitu jiwa yang tersesat, jiwa yang tanpa arah dan tanpa tujuan, jiwa yang gentayangan sendirian, tanpa bantuan, tanpa pegangan, dan kebanyakan dari mereka, “jiwa yang tersiksa dan menderita”, ada yang menderita dalam waktu singkat, ada yang sudah lama menderita.
Ekspresi yang paling jelas dan langsung dari kondisi jiwa ini ialah, “menangis”, karena menangis, menurut pengalaman saya, ialah bahasa manusia paling intim, bahasa manusia paling jujur, bahasa manusia yang bersumber dari jiwa yang lebih dalam daripada tertawa. Antarta sedih, senyum, tertawa dan menangis, saya menilai, menangis adalah suatu ekspresi jiwa yang lebih dalam di antara keempat rasa jiwa ini.
Saya tidak katakan apapun, kita tidak mengatakan apa-apa, yang kita buat adalah melotot ke dalam pintu jiwa, atau istilah lain mengintip ke dalam jiwa dari masing-masing pihak.
Saya mengajak kita semua, antara pacar, antar suami-istri, antara bos-anak buah, antara anak-orang tua, antara sesama kita, cobalah sempatkan sedikit saja waktu untuk mengintip ke dalam pintu jiwa masing-masing kita, siapa tahu di dalam jiwa atasan kita, suami, isteri, pacar, anak, orang tua kita terpancar realitas yang bertentangan dengan apa yang telah anda bayangkan selama ini.
Lihat gambar tiga wanita ini, mereka terlihat gembira sekali. Ini yang saya maksud dengan gambaran luar, pakaian, celana, baju, make-up. Apalagi ada satunya mengenakan kacamata, lebih tidak bisa kita lihat.
Cobalah sempatkan waktu sejenak melotot ke dalam mata mereka masing-masing, paling tidak dua orang dari gambar ini, dan biarpun ini adalah gambar (foto) sebenarnya kita masih bisa mengintip ke dalam jiwa kita menggunakan gambar. Walaupun begitu, melotot “live” lebih mantap karena ada unsur timbal-balik, apa yang kita lihat di dalam jiwa langsung ditanggapi oleh jiwa kita, dan tanggapan jiwa kita kemudian disambut juga oleh jiwa pasangan kita, dan kegiatan sambut-menyambut ini dapat berfungsi sebagai obat untuk mengobati, atau mengisi ketidak-seimbangan yang ada di dalam jiwa kita masing-masing.
Saya tahu persis, saya sendiri tidak akan melakukan ini di mana-mana dengan leluasa, dan dalam budaya orang non-Barat memang ini sulit, Malahan banyak budaya non-barat melarang kita melotot ke mata, karena itu bisa mengandung makna negatif. Kebanyakan kita dilarang. Akan tetapi dengan ritual khusus, dengan tujuan yang dijelaskan dengan baik, dalam kondisi tertentu, barangkali tidak salah kalau kita sekal-sekali saling mengintip ke dalam jiwa masing-masing, daripada capek-capek tanya terus, “Apa kabar?” dan terus berpura-pura menjawab, “Baik-baik…”