Melotot Mata ke Mata: Haram di Tanah Papua, Halal di Bali Spirit Festival

by
7 years ago

Melotot mata ke mata, baik itu antara laki-laki dengan laki-laki atau laki-laki dengan perempuan atau perempuan dengan perempuan, tua dengan muda, adalah salah dua kegiatan yang saya anggap paling menantang untuk saya lakukan di dalam Bali Spirit Festival dan kegiatan-kegiatan ikutan dalam even breathwork.

Dalam kesimpulan, saat pertama saya lihat mereka lakukan ini, saya katakan begitni

Ini proses pembangunan “society”, yaitu sebuah kehidupan yang saling berhubungan, saling mengenal dan saling memperhatikan, seperti yang telah lama saya tahu dan semakin lama semamin menghilang dalam hidup saya sendiri.

Benar, kita orang Papua dan di Indonesia sebagian besar hidup di kampung-kampung, jadi sepanjang sejarah hidup kita mengenal masing-masing orang dengan nama, dengan marga, dan bahkan orang tua dan nenek-moyang serta tempat tinggal masing-masing kita tahu. Tidak demikian untuk masyarakat modern. Satu orang misalnya lahir di Arso, Jayapura, masuk sekolah sampai tamat Sekolah Dasar, dia pindah ke Sentani untuk Sekolah lanjutan (SMP), kemudian SMA dia selesaikan di Manokwari. Lalu ia kuliah di Yogyakarta.

Bayangkan, apa yang dia tahu tentang dirinya? Saya tidak tankakan tentang keluarga atau tetangga atau suku0bangsanya, tetapi pribadinya sendiri, ia tahu sejauh mana? Sebagian besar orang modern hanya mengetahui sampai batas-batas urusan-urusan pribadi, urusan-urusan ayah dan ibu, bahkan urusan orang tua juga tidak diperdulikan, bukan karena tidak mau, tetapi karena kondisi hidup tidak memungkinkan untuk mengetahui semua ini.

Akibatnya apa? Individualitas dan individualisme yang terbentuk. Dunia ini ada saya, saya ada di dunia ini, saya hidup, saya makan-minum, saya punya cita-cita, saya punya ambisi, saya ini dan saya itu. Kata “kita” dan “kami” tidak ada dalam kamus kehidupan orang modern.

Dalam kondisi seperti ini, sangat penting untuk melakukan kegiatan-kegaitan “melotot” atau paling tidak “melihat” ke dalam mata satu-sama lain.

Mengapa mata?

Kata orang, mata ialah jendela hidup atau jendela kepribadian seseorang. Dengan melihat ke dalam mata saja kita mendapatkan gambaran hampir cukup lengkap tetang siapa dan apa yang terjadi dengan seorang pribadi.

Mari saya undang ktia click sedikit video berikut, untuk merasakan apa yang terjadi dan fokus kepada apa yang Anda rasakan pada saat melihat apa yang terjadi di video ini

Saya sudah nonton video in beberapa kali, dan setiap kali saya melihat wajah/ mata masing-masing orang, lelaki, perempuan, senyum, bingun, dll, saya juga terkena pengaruhnya, saya bisa menebak apa yang ada di dalam hati/ pikiran masing-masing orang pada saat saya melihat mata mereka.

Sama di Tanah Papua, sama di Bali, sama di seluruh masyarakat dunia ketiga, “melotot ke mata” artinya “Apa lo?, mau apa lo? Belum tahu siapa saya?, Awas!,”. Artinya begitu tidak sehat. Mengandung makna ancaman.

Berbeda dengan yang terjadi di Bali Spirit Festival saat saya terlibat waktu itu.

Pertama saya langsung serta-merta menolak dan katakan, “Ini bukan untuk saya”. Saya katakan kepada teman saya, “ini cocok untuk kalian, kalau saya tidak!” Orang Bule itu kalau dibilang sesuatu dia selalu tanya, “Why?”, mengapa kau katakan itu. Agama dan adat mereka ialah “reason”, segala-sesuatu harus punya alasan, dan alasan itu harus diterangkan dan dipertanggung-jawabkan. Kalau alasan itu hanya sekedar, “karena saya tidak diperbolehkan dalam adat saya”, itu bukan penjelasan, tetapi itu hanya larangan saja.

Jadi, saya kalah dalam argumentasi alasan saya tidak mau ikut. Dengan kekalahan argumentasi, maka saya terpaksa ikut. Dan saya akhirnya “ended-up” dengan kegiatan “melotot” ke mata, laki-laki, perempuan, tua, muda, orang yang sudah saya kenal sebelumnya, orang baru sama-sekali.

“Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah” “waaaaah duuuuhhhhh”

itu yang saya katakan setelah saya melakukannya.

Alasan pertama, karena saya mulai mengenal orang-orang yang hadir, dan mengetahui bahwa mereka adalah manusia, lupakan kuilt, lupakan rambut, lupakan bahasa, lupakan agama, “lihat ke mata, mta seorang manusia, seorang insan, ya, seseorang’, bukan orang Papua, bukan orang Jawa, bukan oragn Inggris, bukan perempuan Australia, bukan perempuan Jakarta, tetapi “mata seorang manusia”.

Dengan serta-merta saya temukan, ada banyaaaaak sekali teman-teman peserta festival ini dalam kondisi “sedih”, “stres”, “trauma” dan membuntuhkan teman lain untuk berbagi dan bertukar pengalaman dan perhatian.

Saya sudah katakan di atas, modernisasi telah membuat manusia menjadi terisolasi dalam kesendirian (individualitas dan individualisme) sehingga mereka tidak punya jejak hidup bersama, bermarga, bersuku, berbangsa. Mereka menjadi kepingan-kepingan individu terlepas, terbang ke mana-mana, mencari hubunga, mencari komunitas, mencari orang lain dan “menjadi manusia seutuhnya sebagai makhluk sosial” bukan hidup sebagai manusia individualistis.

Dalam melotot ke mata orang lain, saya alami ada sesuatu terputus, yaitu perasaan malu, perasaan takut, perasaan was-was, curiga, prasangka, stereotype, dan sebagainya. Saya mulai tidak melihat orang Bali, orang Jawa, orang Bule, orang Islam, orang Hindu lagi, saya melihat orang manusia, orang sama seperti saya. Bahkan saya melihat diri saya sendiri lewat jendela hidup sesama saya.

Dalam memandang dan melotot ke satu sama lain, kita menarik nafas, menahan nafas, dan menunjukkan tangan “hormat” dengan merapatkan telapak tangan kiri dan kanan di depan dahi/ hidung, tanda hormat, sangat membantu saya.

Praktekkan sendiri saja, biar teman, biar pacar, biar isteri-suami, melotot ke mata sendiri akan membantu kita mengenal dan memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi di dalam “hidup sesama”. Karena kita punya mulut pandai bersilat kata, kita punya otak pandai berputar kata. Itu bukan temuan kita, itu warisan Adam dan Hawa. Dalam Bali Spirit Festival saya belajar menulis, membaca dan bercerita “TANPA KATA-KATA”, hanya lewat “melotot” ke mata satu sama lain.

Dalam bahasa Inggris untuk “melotot” ini disebut “Look into the eyes”, artinya tengok-lah ke dalam mata sesama. Dengan ungkapan ini jelas kita disuruh melihat sesuatu di dalam mata sesama kita.

Perlu saya tambahkan bahwa “sesama” yang dimaksud di sini tidak kita pilih, tidak kita sortir, tetapi siapa saja yang ada di depan kita, yang ada di samping kita, ada di belakang kita, yang penting dia itu seorang manusia. Look into the eyes, dan kita dapatkan banyak hal yang bukan rahasia tetapi tidak pernah terbaca baik oleh pengaruh modernisasi yang individualistis.

Saya usulkan ketiklah kata Look into the eyes di google.com dan Anda akan ditunjukkan banyak foto orang lihat ke mata, atau foto wajah dan mata. Dari gambar-gambar ini kita dengan jelas bisa mengenal seseorang.

Saya teringat saat berkunjung ke rumah orang yang punya anjing, saya selalu kasih tahu diri saya dan orang lain, “Jangan lihat dia” atau “jangan tengok ke anjing”, pura-pura kita jalan lurus, tanpa menghiraukan gonggongan. Dengan demikian anjing tidak melihat “mata” kita sehingga dia tidak tahu maksud kita. Anjing dapat membaca maksud dan apa yang ada di dalam hati seseorang hanya dengan melihat ke mata saja. Ingat, bukan wajah, tetapi mata.

Berikut contoh gambar saya ambl gari google.com menunjukkan mata seseorang dan bisa kita terka apa yang ada di dalma hati.

Putri / Lady Diana, Kerajaan Inggris
Putri / Lady Diana, Kerajaan Inggris

[berlanjut]

Bagi yang ingin baca dalam bahasa Inggris silahkan baca salah satu artikel berjudul “Staring into the Eyes” dengan click link ini. Apa yang mereka ceritakan sebagai hasil daripada melihat ke mata orang lain cukup mengagetkan saya, karena justru hal-hal aneh yang dialami oleh orang-orang di dunia barat, tetapi yang saya jelaskan di atas agak dasar, saya bisa katakan pengalaman saya cukup sederhana dan cukup alamiah. Sedangkan cerita yang disampaikan dalam artikel bahasa inggris ini cukup dramatis. Memang konteks sosial-budaya berbeda, juga konteks dunia Bali dan Papua, serta konteks di tempat lain berbeda, dalam kaitannya dengan nilai-nilai rohani dan penghargaan terhadap jiwa dan roh berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Mungkin ini berpengaruh terhadap apa yang ada di dalam jiwa/ hati orang-orang yang terpantul lewat mata.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Latest from Blog

NA-Genetics-Evolution-Concept-Art
Arizona State University scientists studied genetic variation in the water flea Daphnia pulex, finding that natural selection on individual genes fluctuates significantly over time, even in stable environments. This research suggests that ongoing genetic variation helps species remain adaptable to future environmental changes, challenging traditional views on natural selection.

Don't Miss

Barang Termahal dan Terpenting tetapi Tersedia Gratis untuk Diberi dan Diterima itu apa?

Banyak orang saya tanyakan ini saat ada kelas-kelas yang saya ajarkan tentang

Banyak Laki-Laki OAP Hamil Tua, Mempunahkan Diri Sendiri?

Ada banyak kampanye di Tanah Papua mengatakan bahwa Orang Asli Papua (disingkat