Di Jalan Thamrin, 14 Januari 2016 yang lalu telah terjadi sebuah peristiwa bersejarah, yaitu ada orang Indonesia yang datang mengebom orang Indonesia sendiri.
Saya menyaksikan tiga hal dari peristiwa ini. Pertama, tindakan aparat keamanan yang mengawasi kawasan Ring Satu yang begitu luarbiasa dari sisi kecepatan dan ketangkasan. Polisi brhasil mengamankan keadaan dalam waktu sangat singkat. Ini baru saya alami sendiri, dengan mata kepala sendiri, apa artinya ring satu, dalam sistem pengamanan di dunia.
Pelajaran kdua yang saya dapatkan ialah reaksi masyarakat Indonesia yang mnatakan “#KamiTIidakTakut” sebagai trending topic. Saya punya nurani, atau nilai-rasa mengatakan, lebih tepat kalau kita gunakan “Kami Berani dalam Kondisi Apapun!” atau “#KamiBerani” sebagai trending topic lebih positif daripada kalimat negasi “Kami Tidak Takut!”, walaupun saya tidak punya alasan rasional untuk menjelaskannya. Saya hanya mengatakan ini dari sisi “nilai rasa saya”.
Nilai rasa saya biasanya tidak rasional, tetapi berpengaruh dalam hidup saya. Nilai rasa saya menyatakan pernyataan “Kami Tidak Takut” tidak punya dampak memnghancurkan niat dan tujuan para teroris, secara “roh”, yaitu terorosiem sebagai sebuah “spirit” tidak dapat dikalahkan dengan kalimat negatif.
Pernyaaan “Kami Tidak Takut!” ini dapat dipakai oleh siapa saja yang sering di-teror. Ada oragn di dunia ini yang diteror oleh fundamentalis religious, ada juga fundamentalis nasionalis, ada juga negara fundamentalis, yang setiap hari kerjanya meneror rakyatnya sendiri.
Kaum, suku, bangsa, kelompok yang mendapatkan teror, dari siapapun, dari teroris individu, teroros kelompok, teroros aparat negara atas nama negara, semuanya perlu belajar untuk mengatakan, “Kami berani!” kepada aksi-aksi terorisme, yang mengancam dan menghabisi hidup manusia lain dengan alasan ideologi agama ataupun ideologi politik.
Yang ketiga ialah ksan bahwa aparat keamanan sebenarnya tahu siapa pelaku, siapa yang mensponsori dan lebih tepat lagi, “kapan” dan “di mana” akan dibom kaum teroris. Tetapi herannya saya, mengapa tidak sanggup mencegah?
Dari sini saya belajar, biar-pun di ring satu, biar-pun dengan peralatan canggih, biarpun alat kelengkapan negara modern yang canggih sekalipun, tetap kita harus kembali kepada kodrat dan hukum alam, bahwa kita hanyalah manusia, dan kita hanya sedang bertentangan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, yang punya keterbatasand an kelebihan masing-masing. Biarpun kita atas nama negara, atas nama ideologi, atas nama agama, kita dengan kelengkapan negara ataupun pribadi, kita tetaplah manusia, ada kekurangan dan ada kelebihan.
Entah siapapun aktornya, itu terorosme fundamentalis agama, fundamentalis ideologi politik, atau terorisme oleh negara-pun, seharusnya kita akhiri di era globalisasi, di peradaban pascamodern ini.Kalau tidak, negara, kelompok, individu tetap kelihatan dan dapat dicap sebagai “kaum teroris” itu sendiri.