Separuh hidupku, diisi lagu-lagu yang diputar Papa di kamar. Sayang, hanya ada lagu pop lama dalam playlist. Pop Mandarin lama, atau evergreen barat macam lagu-lagu LOBO dan Oh, Carol! Jarang sekali ada keluarga peranakan Tionghoa pasar yang memutar lagu jazz, blues, rock atau funk di rumah. Keroncong, banyak.
Lagu rock yang kukenal, sebatas Love of My Life (Queen), serta selusin lagu Elvis Presley dan The Beatles. Dan seperti banyak anak lain, dunia hanya berputar di sekitar rumah. Orangtua, terutama. Yang tak pernah ada di rumah, kukira tak ada di dunia. Atau, mungkin ada, tapi tak penting dan tak baik untukku – makanya orangtuaku tak pernah hadirkan di rumah.
Baru setelah usiaku lebih dari seperempat abad, aku menemukan: Oh Tuhan, ternyata lagu The Beatles ada ratusan!! Seketika kubah kaca yang menutupi duniaku, pecah. Such a revelation!
Latar belakang keluargaku yang kaku dan konservatif, menjadi batu sandungan bertahun-tahun awal karirku sebagai musisi. Susah payah aku harus merobohkan kastil batas. Di permukaan, aku merobohkan atap pembatas “musik yang baik” dan “musik yang tidak baik”. Menghancurkan kotak-kotak, mana “musik yang baik untuk orang baik”, mana yang bukan.
Di bawah permukaan, harus bekerja keras menggali fondasi. Merombak dogma hitam putih baik buruk yang dua dekade ditanamkan orangtua. Saat ini, sudah cukup lumayan. Meski belum sempurna.
Arma Resort, Ubud. Hampir dua jam dari bandara Ngurah Rai. Hotel dengan galeri lukisan, taman tropis, dan kolam teratai. Tiga malam dari delapan hari Bali Spirit Festival 2017, ada panggung One World One Stage di sana. Seniman dan penonton dari puluhan negara, menjalin koneksi jiwa. Menembus batas apa dan siapa. Apalagi sekadar cangkang warna kulit dan tempat ibadah.
Di situ, dua kali aku naik panggung. Sekali dengan gitaris kenamaan Balawan dan perkusionis I Made Subandi, sekali lagi dengan gitaris grunge Robi (Navicula).
Itu kali pertamaku, bermain dengan Balawan. Kenal dekat? Tidak. Hanya pernah bertemu sekilas. Lalu berkawan di FB, dan sesekali berbalas komentar. Karena domisili yang terpisah lebih dari seribu kilometer, kami tidak bisa latihan bersama. Lalu bagaimana caranya?
Kami memilih lagu yang sesuai tema festival. Yang kami sudah sama-sama hafal dan cocok untuk instrumen kami (gitar, guzheng, dan kendang – tabla): Bengawan Solo, Bubuy Bulan, dan Can’t Help Falling in Love. Itu saja. Tinggal memilih jenis ritmik, dan membuat bagan intro – lagu – interlude – improvisasi – kembali ke verse/ refrain/ dll. Sisanya, gunakan insting.
Bikin partitur? Tentu tidak. Bagaimana bisa tahu kapan main bagan apa, giliran siapa? Kami membuat “pintu masuk” dan “pintu keluar” bagai adegan teater. Seperti apa pintu-pintunya? Yang pasti, tak kasat mata berbentuk pintu.
Buka telinga. Buka mata. Baca dinamika. Baca bahasa tubuh.
Begitu pula dengan Robi and friends. Aku hanya main satu lagu. Rock. (Dulu, tak mungkin boleh aku mendengarkan musik seperti ini. Musik anak berandalan.) Kami betul-betul saling “membaca dan mendengarkan”. Bagaimana, mau ke mana.
Kami tersenyum lebar, setelah memetik not terakhir bersama-sama…
Berusaha menjalin koneksi tanpa kata dengan manusia lain. Tak perlu kenal identitas. Cukuplah memahami dinamika mind, body, and soul. Itulah yang menyatukan kita sebagai manusia. One world, one stage.
Itu pulalah yang membedakan aku kini, dengan aku dulu.
Di panggung setelahku, lima orang musisi dari barat laut India bermain kendang, vocal, suling dan perkusi. Hentakan ritmik, mengalir satu nafas dengan hentakan tangan, kaki dan degup jantung. Bahkan tekanan intonasi silabel dari ucapan pengantar lagu, juga terdengar jelas sebagai musik. Seorang penarik kathak keluar, menari berputar-putar. Penonton lebur dalam dunia baru.
Musik yang menjelma hidup. Hidup yang menjelma musik. Tak bisa lagi kubedakan.
Source: https://qubicle.id/story/