Pak Jokowi Bagaimana dengan Pungli di Cargo Airport Sukarno-Hatta dan Adisutjipto Yogyakarta?
Saya Jhon Yonathan Kwano, saya kleim diri sebagai satu-satunya entrepreneur papua yang sudah berani dengan berbagai resiko, dengan modal tekad dan nekad, membangun gudang distribusi Kopi di Jakarta dan Yogyakarta, dan sampai hari ini masih membayar pungutan liar di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta dan Bandara Sukarno – Hatta Cengkareng.
Saya bayar kopi per kg di Jayapura Rp.11.500 – 20.000,- Itu untuk Stiwijaya Air dan Lion Air. Kalau Garudan Indonesia, yang konon pesawat punya negara, menagih saya bukan main, kebanyakan per kg bahkan sampai pernah Rp.60.000,-. Waktu itu saya bawa belanja pakaian di Pasar Senin dari Jakarta, sebanyak 6 kg saja sudah bayarhampir Rp.700.000,- Saya bukan jadi marah, tetapi rasa mutah waktu itu. Terus-terang, Pak Presiden Jokowi bukan rasa muntah tetapi mungkin rasa lucu.
Tetapi ini bukan lawak, ini kenyataan penderitaan pengusaha Papua.
Presiden Joko Widodo sorang pengusaha, paling tidak pernah menjalani lika-liku pengusaha di negara ini. Kalau Presiden pernah menjalani lika-liku itu di pulau Jawa, saya mau mengaku bahwa lika-liku itu saya sudah jalani di pulau Jawa, khsusnya di Yogyakarta sejak tahun 2014, dan sekarang di Jakarta sejak MEA dimulai 31 Desember 2015. Saya mulai bergerak dalam usaha Kopi di Papua sejak tahun 2013, Memang pengalaman saya masih bayi, tetapi saya sudah bisa membedakan pahit atau manis, bisa tertawa atau mnanangis, bisa merasakan bisnis artinya apa.
Saya beli kopi dari petani dengan harga antara 20-30 ribu per kg, lalu dari kampung-kampung, saya harus datngkan ke Wamena kota, ada jalan kaki, ada pakai pesawat, ada pakai mobil. Lalu setelah saya jemur sebentar, dalam bentuk gabah saya kirim ke Jayapura di mesin “huller”. Jadi, saya bawa dari kebun sampai ke Jayapura. Tidak sampai di situ, ada biaya produksi di jayapura, karena ada pegawai yang mengoperasikan di gudang, untuk hulling, untuk sortir, untuk mengangkut masuk dan keluar.
Setelah itu saya harus bawa kopinya ke Yogyakarta dan Jakarta, dengan pesawat pula. Dari kebun diterbangkan ke gudang produksi, dari gudang produksi diterbangkan ke konsumen di pulau Jawa. Sepanjang jalan penerbangan ini, jangan anggap mudah. Pungli saya bayar dari Wamena sampai ke Jakarta, dari Jayapura sampai Yogyakarta.
Lalu Pak Presiden yang saya hormati dan banggakan, “Untungnya saya sebagai pengusaha di mana?” Atau saya rubah pertanyaannya, “Apakah saya berbisnis dengan resiko biaya tinggi seperti ini?”
Saya harus mengaku, saya belum berbisnis, saya hanya mempertaruhkan harga diri bangsa Papua, karena orang tua saya, para kepala-kepala suku dan anggota Koperasi Baliem Arabica telah mempertaruhkan harga diri dan telah berani memproduksi kopi Papua.
Kopi Papua kini dipandang sebagai kopi ternama di Indonesia, tetapi tidak banyak orang tahu, termasuk Pak Presiden pasti tidak tahu, bahwa Kopi Papua hadir dalam gelas dan cangkir di pulau Jawa, lewat proses yan sangat tidakrasional secara bisnis.
Pas hari ini, Selasa 18 Oktober 2016, tepat pukul 20:00 saya menonton berbagai paparan di TV-One, program Jakarta Lawyers Club, menyaksikan betapa para petinggi Departemen Perbubungan dan kepolisian berkata-kata mereka sudah disulap jadi orang bersih, dalam istilah Kristen kita sebut, “bertobat dan dibaptiis ulang”.
Saya tulis artikel ini, karena setiap kali saya harus ambil kopi di Airport, Yogya ataupun di Jakarta, saya harus keluarkan minimal Rp.500.000,- untuk 100-200 kg kopi. Kalau lebih dari itu, maka saya harus tambah Rp.200.000,- sampai Rp.300.000,- Saya sudah tanyakan kepada pelanggan kami di Jakarta dan di Surabaya, dan tanyakan mereka apakah mereka juga dipungut? Kata mereka begini, “Daripada kopinya nggak keluar, ya terpaksa kami selalu bayar!”
Atau mungkin ini saya salah mengeluh, pungutan di Cargo Pesawat ini bukan liar tetapi mungkin menurut aturan. Entah itu liar atau jinak, entah liar atau sesuai hukum, saya tetap merasa diperas, biaya produksi Kopi saya melampaui kemamppuan saya. Kalau saya cari untung, saya jamin saya sudah stop dari usaha ini. Untungnya yang saya pertaruhkan ialah harga diri bangsa Papua.
Demikian dan harap maklum. (jykwano@gmail.com, info@papua.coffee)