Tepat tanggal 23 Desember 2015 saya tiba di Bandara Sukarno – Hatta, Cengkareng Jakarta Utara, dan saya untuk pertama kali mengalami apa yang disebut “bukan macet lagi”, “bukan padat merayap lagi”, “bukan juga macet total”, tetapi lebih dari itu, tidak punya nama, bukan macet lagi, tetapi berhenti total.
Tujuan akhir saya ialah ke Gudang Kopi Papua di Jakarta Selatan, tepatnya Jalan Moh. Kahfi 1, Jagakarsa, Jakarta Selatan, atau pada umumnya disebut CIganjur.
Saya tiba di Terminal 3, jadi untuk keluar dari tempat parkir taxi sampai ke tempat pengecekan Karcis Masuk-Keluar bandara, loket parkir bandara saja sudah memakan waktu 2 (dua) jam. TIba jam 20:50 dan keluar hingga ke dalam taksi pada pukul 21:30. Setelah itu dengan taksi melewati loket parkir pada pukul 23:50 WIB. Bayangkan dengan keterlambatan dan lebih dari kemacetan ini bisa sampai ke gerbang Tol Cengkareng.
Ya, betul, sampai di Gerbang Tol Cengkareng saja sudah jam 01:20.
Apakah iini disebut macet? Bukan, macet, bukan?
Ini disebut berhenti total.
Keputusan paling benar, dalam kondisi ini ialah berhenti di tempat, tidur di tempat.
Dan itu yang saya lakukan. Saya bermalam di Hotel Amaris, tepat dekat Tol Cengkareng.
Setelah itu pada tanggal 24 Desember 2015, dari pagi sampai malam, saya berupaya untuk menuju ke tujuan terakhir, tetapi sama saja. Saya berangkat jam 11:00 pagi tanggal 24 Desember 2015, berangkat dari Hotel Amaris Cengkareng, menuju ke Ciganjur. Baru jam 16:00 tiba di Jakarta Pusat.
Terpaksa pada 24 Desember 2015 saya tidur di Hotel Amaris Grogol. Maklum anggaran terbatas, dan Hoel Grogol merupakan standar yang lumayan bagus pelayanannya.
Baru tanggal 25 Desember 2015 kendaraan kembali normal seperti kondisi Jakarta.
Yang saya harapkan lebih dari itu. Saya harap Jakarta lebih sunyi dari biasanya, tetapi ternyata justru masih ramai, walaupun tidak macet seperti hari sebelumnya.
Pantas saja pejabat berwenang bidang angkutan darat dua tiga hari kemudian mengundurkan diri. Kalau saya menteri perhubungan, saya juga pasti sudah mengundugkan diri.