Tentu saja pihak yang menghendaki Basuk Thahaja Purnama dihukum merasa bersyukur dan sujud menyembah ketika mendengar vonis hakim pengadilan yang menghukum Ahok selama 2 tahun penjajara, yaitu 1 tahun lebih berat daripada tuntutan Jaksa yang mengajukan tuntutan 1 tahun penjara. Di sisi lain saya juga menyaksikan ada penduduk DKI Jakarta yang menangis sampai terseduh-seduh, bahkan hampir pingsan. Sungguh sebuah suasana yang membuat saya berpikir ulang dan bertanya, “Apa artinya ini semua?”
Di balik sujud syukur dan kegembiraan dan isak tangis serta kemarahan itu, menurut saya, maklum saya sebagai makhluk manusia, kebetulan ber-KTP WNI, sebgai manusia, sebagai orang Papua, sebagai orang Kristen, sebagai orang non-Parta Politik menerima pesan yang tidak sama dengan para pihak yang sujud-sembah ataupun berisak-tangis dan marah tadi..
Pesan yang sangat kuat saya rasakan adalah bahwa “NKRI bukan tempat buat saya untuk mempertaruhkan dan membela kebenaran”, karena sepanjang saya minoritas, sepanjang itu pula saya pasti akan kalah. Sebuah usaha yang sia-sia berbuat sebaik apapun, berupaya sekuat apapun, sepanjang mayoritas penduduk NKRI masih berkuasa menentukan apa-pun: hukum, ekonomi, politik, sosial, maka sepanjang itu pula harapan untuk ber-Bhineka-Tunggal Ika itu jelas-jelas tidak punya prospek menjanjikan.
Saya mengikut dari awal, semua wajah saya perhatikan, semua kata-kata saya cermati, semua gerak-gerik saya perhatikan. Pada saat Ahok dalam proses persidangan, memang Ahok nampak tampil sangat congkak. Saya tidak pernah melihat Ahok itu meminta maaf secara tulus, apa lagi merasa bersalah. Mungkin beliau tidak pernah paham apa artinya menjadi seorang pemimpin. Pemimpin menurut masyarakat adat ialah berada di belakang, mengikuti dan memberikan wejangan dari belakang, dan kalau salah, maju ke depan untuk memberikan arah dan petunjuk. Pemimpin bukan orang yang membentak-bentak, entah dengan alasan apapun juga. Pemipin bukan-lah yang memaki-maki. Pemimpin haruslah menahan emosinya, walaupun marah, amarah itu tidakditampilkan lewat kata-kata, atau wajah sekalipun.
Apalagi mengucapkan kata-kata berhubungan dengan suku, bangsa, agama, ras, partai politik orang lain, pada posisi sebagai seorang pemimpin, itu merupakan sebuah tindakah tidak terpuji. Saya setuju perbuatan ini semua harus dihukum.
Tidak berarti saya setuju dengan kekuatan politik yang mengendalikan proses peradilan dan proses hukum. Tidak berarti kekuatan kaum mayoritas dianggap wajarh mempengaruhi keputusan hukum. Memang saya tahu, dalam demokrasi modern, kepempimpinan ditentukan oleh suara mayoritas, tetapi saya juga tahu, bahwa dalam proses hukum, bukan mayoritas-minoritas, tetapi keadilan yang dibela, dan keadilan yang ditegakkan.
Dalam kasus Ahok, kedua hal tidak terjadi. Benar, di satu sisi Ahok harus dihukum. Tetapi di sisi lain, pemerintah NKRI tidak mengetahui dan tidak mau ambil pusing sebuah peristiwa penting telah terjadi,
“Nyali berbangsa dan bernegara kaum minoritas di dalam wilayah NKRI telah dibunuh! Saya sebagai orang minoritas secara agama, ras, suku-bangsa, partai politik, saya merasa dengan jelas, peristiwa ini menambah kehancuran NKRI”
Saya tidak mau mengatakan dengan pemenjaraan Ahok maka NKRI akan bubar. Itu bukan. Tetapi secara fundamental, secara nyali, secara hatinurani, saya merasa “percuma” berbangsa dan bernegara Indonesia, karena toh mayoritas-lah penguasa hukum, penguasa politik, pemegang kunci ekonoimi dan penentu dalam Negara bernama Indonesia. Bumbu-bumbu Bhineka Tunggal Ika, ucapan-ucapan kita saudara-saudara sebangsa-setanah air, kita sama-sama senasib, merupakan bumbu-bumbu yang tidak saya buktikan dalam kasus penghakiman masal, trial by press, dan trial by court hingga penghukuman hari ini terhadap Basuki Thahaja Purnama.
[…] menit lalu, mari kita tata masa depan kebhineka-tunggal-ikaan NKRI”. Seperti saya katakan dalam kisah sebelumnya, tepat waktu hakim ketua membacakan keputusannya kemarin, saya merasa para penyiram air sejuk hari ini beberapa menit lalu kan penyiram air panas, kok bisa […]
Apakah pluralisme NKRI mengalami masalah setelah Ahok masuk penjara? Bagaimana setelah beliau keluar dari penjara?